Showing posts with label kuliah. Show all posts
Showing posts with label kuliah. Show all posts
Sunday, August 9, 2015
Friday, August 7, 2015
To Be Alive
Di beberapa momen yang indah, aku selalu berkata di dalam
hati, “What a great time to be alive.”
Semuanya mudah. Berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang yang berada di belahan dunia lain kini semudah menekan layar sentuh di ponsel pintar. Menyebarkan berita atau pengumuman pernikahan kini semudah memasang foto terbaru di instagram dan jaringan sosial lainnya yang menjamur. Bingung mencari tahu cara membersihkan virus dari laptop? Tinggal meminta google mencari jawabannya untuk kita. Apapun yang ingin kita tanyakan, google bisa menjawabnya. Membeli baju dan melihat-lihat isi buku kini dapat dilakukan dari perangkat elektronik yang sama, yang mengijinkan kita untuk tak perlu mandi dan mengangkat kaki dari rumah.
Tapi di sisi yang lain, aku merasa khawatir. I am
worried.
Kini bercakap-cakap dengan orang tak bisa semudah dulu.
Kini semua orang – di stasiun, di halte, di toko, di jalan raya – semua sibuk
dengan ponselnya masing-masing. Tak ada yang menengadahkan kepala untuk melihat
dunia nyata. Semua menunggu dengan bosan, berharap tak ada yang mengajak
berbicara, semua menggerakkan jarinya dan menggulir konten media sosial. Tak ada
yang peduli. Tak ada yang ingin membuka pembicaraan.
Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Lima menit pertama
ia menatap kita namun lima menit kemudian ia hilang memberikan Likes di
foto-foto orang lain. Manusia di masa kini seperti dilatih untuk memiliki
konsentrasi jangka pendek. Teori yang mengatakan bahwa manusia hanya bisa
berkonsentrasi di 30 menit pertama mungkin haris direevaluasi kembali. Dengan
banyaknya tombol dan notifikasi berhamburan, mereka tak tahan harus
bercakap-cakap selama satu jam. Mereka tak tahan untuk mengabaikan segala macam
bunyi dan pendar dari layar ponsel dan iPad mereka.
Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Kini orang-orang
tak saling bertemu lagi. Bersalaman dan berpelukan tak lagi semengasyikkan
snapchat dan ask.fm. Orang tak lagi saling mengunjungi untuk bersilaturahmi.
Pasangan tak lagi menyempatkan diri untuk duduk bersama dan bercakap-cakap.
Mereka didominasi oleh Line, BBM, dan Whatsapp. Emotikon dan huruf, tapi, tak
akan pernah menggantikan ekspresi wajah dan sentuhan tangan yang biasa
dipertukarkan.
Aku khawatir melihat manusia tak lagi membaca buku cetak.
Dan ayah-ibu tak lagi bermain sepeda dengan anaknya, atau membawa mereka
bermain di taman hiburan. Aku khawatir tablet telah menggantikan peran
orangtua, in so many ways. Aku khawatir nantinya manusia tidak akan
berkomunikasi satu sama lain, karena semua kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh
satu perangkat canggih bernama teknologi. Kelas berisi 50 orang tak pernah
sesepi ini, semuanya sedang sibuk dengan ponsel masing-masing sementara sang
dosen sedang menerangkan panjang lebar. Tak ada yang mau menolong korban
kecelakaan karena mereka berpikir itu adalah modus kejahatan terbaru, dan jika
mereka menolong maka mereka akan ditodong. Dunia ini, berubah menjadi lebih
baik dan lebih buruk di saat yang sama.
Dan kadang-kadang aku berkata dalam hati, “What a bad
time to be alive.”
[F]
Thursday, July 23, 2015
The Future of Society
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan ngantri berjam-jam untuk mencoba martabak
nutella. Karena kini ada bapak-bapak Gojek dan Yesbos yang siap membungkus
pesanan kita dan mengantarnya langsung ke depan rumah.
Suatu saat
kita tak akan lagi merasakan susahnya belajar menyetir mobil. Karena Google
sudah menemukan cara untuk membuat mobil yang tak perlu pengemudi, auto-driver.
Kita hanya perlu duduk diam menunggu sampai tujuan.
Suatu saat
kita tak akan lagi melihat konser sambil berteriak-teriak kegirangan melihat
penampilan idola. Karena kini semua orang menggunakan tongkat narsis, tablet
perekam, dan drones kamera yang melayang kemana-mana.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan gugupnya membuka pembicaraan dengan orang
yang disukai. Atau menunggu-nunggu untuk bertemu setelah sekian lama. Karena
kini semua media sosial memperbolehkan semua itu terjadi, setiap hari, gratis.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan rumitnya menghapal jalan dan peta. Suatu saat
kita tak akan lagi tersesat di tempat yang tak pernah kita kunjungi. Karena
kini ada google maps dan waze, yang lebih hafal jalan dibandingkan peta kusut
yang mulai robek di bagian pinggir karena tak terpakai.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan pentingnya mengingat sesuatu. Mengingat tahun
berapa Perang Dunia berakhir dan siapa nama istri Jokowi. Karena kini ada
Google yang hanya sejarak sentuhan jari, yang tanpa basa-basi menjawab hal-hal
kecil yang tak pernah kita ingat.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan asyiknya melihat album foto bersama-sama.
Karena kini ada Instagram, periskop, dan vsco, semua diumbar, semua adalah
milik umum. Foto berbikini, foto dengan pacar, foto dengan pak presiden, semua
orang bisa melihatnya.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan bagaimana dengan sungkan minta difotokan oleh
orang tak dikenal. Karena kini ada Gopro, yang langsung terhubung dengan
telepon pintar. Kita tak butuh bantuan orang lain, bukan?
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan gilanya menceburkan teman ke kolam renang.
Karena kini di kantongnya ada kamera poket, ponsel keluaran terbaru, tablet
berukuran seperti tivi, jam tangan digital yang tersambung ke ponsel, dan kabel
pengecas yang dibawa kemana-mana. Karena semuanya lebih penting dari kenangan
yang kita ingat hari itu, jika kita menceburkan dia ke kolam.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan capainya menulis dengan tangan. Karena kini
ada voice command, ada evernote, dan ada laptop. Semuanya tak butuh cekeran
ayam dengan pulpen yang sering luntur. Karena kini semuanya serba tertulis
dengan huruf cetak macam arial dan times new roman. Dan tak ada ruang untuk
tulisan tegak bersambung yang diajarkan sedari TK.
Suatu
saat kita tak akan lagi mendengar alunan asli instrumen piano, gitar, kecapi,
gendang, hingga violin. Karena kini ada musik elektronik yang bisa
menggabungkan semuanya, yang tinggal tekan dan pencet, tak perlu kursus
berlama-lama dan tak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
mempelajarinya.
Suatu
saat kita tak akan lagi bertemu dengan ibu-ibu penjual rokok di tepi jalan,
atau bapak-bapak penjual cendol di depan pasar. Karena kini semuanya tergantikan
dengan vending machine.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan hangatnya dijamah oleh resepsionis atau
pramugari cantik nan santun. Karena kini hotel-hotel menggunakan layar canggih
dan robot ramah yang tak perlu dibayar tinggi. Karena kini manusia tak begitu
berharga lagi.
Suatu
saat kita tak akan lagi merasakan susahnya mengulek sambel hingga menangis,
atau berjam-jam membuat kuah kari. Karena kini ada bumbu instan yang hanya
perlu dituang, ada bumbu bubuk yang membuat semua makanan terasa enak, hemat
berjam-jam.
Suatu
saat mungkin.....
Manusia
sadar bahwa waktu tak bisa diulang kembali.
Suatu
saat mungkin..
Manusia
bertanya-tanya,
“Lalu
aku kerja apa?”
[F]
Friday, July 17, 2015
Takut Kalah
Baru-baru
ini aku mendaftarkan diri untuk mengikuti program summer university di India
selama sebulan. Aku mengerahkan segala kemampuan dan ketika sudah mengumpulkan
aplikasi, aku menyadari seberapa inginnya aku mendapatkan kesempatan ini. Bukan
hanya sekedar iseng-seng berhadiah. Aku berdoa, dan selalu berharap semoga
aplikasiku lolos. Dan setelah penantian selama 2 minggu, barusan aku
mendapatkan email bahwa aku tidak lolos. *put a teary eyes emoticon here*
Bersamaan dengan itu juga aku gagal mengikuti conference di South Korea. Dua
penolakan di bulan yang sama. Aku kecewa. Tentu saja, siapa sih yang tidak mau
dibayari full di negeri asyik macam India dan Korea?
Lalu
kemudian aku mendengar diriku sendiri berkata, “Ah, kamu cupu Len. Baru ditolak
beberapa kali aja udah minder. Udah merasa self-conscious dan ga pede. Berarti
kamu belum siap kalah.”
Siap
kalah. Kadang kita menganggap remeh kualitas itu. Aku
pernah baca buku yang kira-kira berjudul, kenapa mahasiswa yang mendapat nilai
A bekerja untuk mahasiswa yang mendapat nilai C. Kira-kira penjelasannya
begini: mahasiswa yang mendapat nilai A biasanya tidak bekerja keras untuk
mendapatkan nilai itu. Mereka bisa menaklukkan pelajaran dengan mudah, belajar
sehari sebelumnya pun bisa mendapat A. Tapi mahasiswa yang biasanya mendapat
nilai C selalu mengeluarkan kekuatan lebih untuk belajar. Mereka menyicil dari
jauh-jauh hari, belajar bersama, mencatat, dsb. Ketika keduanya lulus di dunia
kerja, itu jugalah yang terjadi. Mahasiswa yang terbiasa mendapat kekecewaan
dengan nilai C akan terus menerus memperbaiki performa dan kualitas kerjanya.
Itu yang menjelaskan mengapa kita semua harus siap kalah dalam segala
hal yang kita kerjakan.
Sebagai
orang yang berkecukupan, aku jarang merasakan kekalahan. Jujur, itu sesuatu
yang aku syukuri. Aku tidak pernah di-bully, punya teman-teman yang care
denganku, punya keluarga yang harmonis, dan beberapa kali hidup membukakan
pintu-pintu yang tepat untuk memberikan aku pengalaman yang luar biasa langka. Jadi
– mungkin – aku tidak biasa merasakan yang namanya kalah. Itulah mengapa ketika
aplikasiku ditolak oleh 2 institusi yang berbeda, aku langsung ciut. Langsung
minder dan langsung berpikir-pikir ulang untuk mendaftar acara serupa.
Bodoh
memang. We cannot win all the time, right? Ketika kita mendaftar di lomba
catur, tentu kita tahu bahwa kesempatan untuk kalah sama besarnya dengan
kesempatan untuk menang. Kita tahu bahwa kita mendaftarkan diri untuk kalah.
Bahwa jika dihitung secara matematis, maka probabilitas untuk kalah tentu
lebih besar dibandingkan menang. Lihat saja, dari 1000 atlet olimpiade, hanya
50 yang berhak menjadi juara. Tapi kadang kita lupa bahwa semua hal ada sisi kalahnya,
bahkan ketika kita mencintai seseorang. Membuat kue itu bisa gagal. Mendaftar
ke lomba itu bisa gugur. Menjalin pernikahan itu bisa cerai. Menyayangi
seseorang juga bisa ditolak. Untuk setiap keputusan, kita tahu bahwa peluang
untuk kalah lebih besar dari peluang untuk menang.
Tapi,
apakah kita cukup berani untuk mencoba?
Remember
this: sometimes you win, sometimes you learn. Jadi, setiap mau melakukan sesuatu, pikirkan dulu, udah siap belum kalau
yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan? Jangan terburu-buru membayangkan,
ah pasti menang hadiah uang, ah pasti berhasil, ah pasti lolos, ah pasti keren
kalo jadi juara, dll. Dan kalau dipaksa harus kalah, mungkin itu tandanya kita
harus belajar lebih banyak dan berusaha lebih keras. Never a mistake,
always a lesson. Semangat ya, untuk kesempatan-kesempatan emas yang
menunggu untuk dicoba!
[f]
Thursday, June 18, 2015
Biggest Fear
Do you really want to know what my biggest fear is? Not that I will fail my marriage, or not being able to find someone worth-marrying-for, or having a decent life and not the super-rich one, none of them are my biggest fear.
My biggest fear would be: not being able to chase after my dreams. Whether or not I manage to get those dreams are completely different story. But I have this one life. This one chance. And I’m not about to blow it by living ordinarily. My biggest fear would be: Marrying someone and regretting that very decision. Marriage is not a must, that is often forgotten. Marriage is a choice and unless there’s super special person that can assure me that “together” is far better than “alone”, I will not take that choice.
My biggest fear would be: sitting in my office cube, doing the same thing everyday in my life, browsing the latest travel photos and wallpapers, convincing myself that I, too, can experience that one day. I want to see and explore the world. I want to expand my knowledge and my self. And that can’t be done by sitting in the office cube, doing reports, obeying the boss. If we do not have big enough dream, we’ll end up working so hard to fulfill someone else’s dream.
My biggest fear would be: not having time to do my favourite things, reading books, going on an adventure, escaping every now and then. Life shall be full of impromptu journeys and laughs, jawbreaking sceneries and events, thrilling sneak-out and road trips.
Oh, what whould it be if all our teenage dreams and ambitions are gone to waste? What if we live the life, the same ordinary way with 7 other billion people? What if at the end of our life, we look back and regret the chances we did not take?
That would be my biggest fear, of all.
[f]
My biggest fear would be: not being able to chase after my dreams. Whether or not I manage to get those dreams are completely different story. But I have this one life. This one chance. And I’m not about to blow it by living ordinarily. My biggest fear would be: Marrying someone and regretting that very decision. Marriage is not a must, that is often forgotten. Marriage is a choice and unless there’s super special person that can assure me that “together” is far better than “alone”, I will not take that choice.
My biggest fear would be: sitting in my office cube, doing the same thing everyday in my life, browsing the latest travel photos and wallpapers, convincing myself that I, too, can experience that one day. I want to see and explore the world. I want to expand my knowledge and my self. And that can’t be done by sitting in the office cube, doing reports, obeying the boss. If we do not have big enough dream, we’ll end up working so hard to fulfill someone else’s dream.
My biggest fear would be: not having time to do my favourite things, reading books, going on an adventure, escaping every now and then. Life shall be full of impromptu journeys and laughs, jawbreaking sceneries and events, thrilling sneak-out and road trips.
Oh, what whould it be if all our teenage dreams and ambitions are gone to waste? What if we live the life, the same ordinary way with 7 other billion people? What if at the end of our life, we look back and regret the chances we did not take?
That would be my biggest fear, of all.
[f]
Saturday, January 3, 2015
Untuk Bandung
Kerlap kerlip lampu selalu menjadikan jendela ini seperti
berpayung senyum. Aku dengan penuh hela napas akan menggeser kabin kacanya,
mentransfusi udara dingin yang sedang melayang-layang setelah rintik hujan
berlalu. Satu hal yang pasti, dua daun jendela ini adalah cinta pertama yang
aku rasa ketika aku memasuki kamar kosku pertama kali. Aku tahu, aku akan
betah. Aku akan menghabiskan pagi, subuh, siang, senja, malam, dan fajar,
berdekatan dengan dunia luar di balik kaca yang berembun. Kadang tersapu debu,
kadang jernih, kadang dihinggapi serangga-serangga bersayap, yang mengepak
sayap hingga ke lantai dua, kadang pula dikotori oleh kotoran burung dan entah
binatang apa.
Hari ini, 450 hari kira-kira. Bandung masih tetap sama, dari
tengokku kala pertama. Aku tetap berkutat dengan laptop biru yang menyimpan
sebagian jiwaku di dunia maya. Dan udara yang dingin membuatku bersin, walau
kucoba tangkal dengan seoles minyak beraroma kayu putih. Segelas susu dan
sereal telah kunikmati, hangatnya bukan hanya ke perut, melainkan pula ke hati.
Aku menikmati saat-saat yang selalu ada, tapi jarang aku syukuri. Ketika untuk
sejenak tugas-tugas bisa menunggu, orang-orang sedang sibuk dengan dunianya
sendiri, ketika hari libur menyapaku hangat, memberikan secercah keceriaan dan
napas baru. Sungguh, kadang kebahagiaan tidak perlu dicari setengah mati.
Kebahagiaan itu timbul, bukan dicari.
Bandung, kamu telah menjadi perantauan yang tak pernah aku
sesali. Terima kasih untuk malam ini, 450 malam yang telah berlalu, dan…
ratusan hari yang akan datang. Kecup. Dan doa.
[f]
Monday, August 4, 2014
Universa
Halo universa ! Lama tak jumpa.
Akhirnya minggu-minggu ujian selesai jua.
Hampir letih aku.
Ingin percepat waktu.
Untuk membebaskan diri dan mencari cerita.
Malam ini aku bertemu lagi denganmu.
Halo universa, tak ada yang banyak berubah.
Aku masih sayang padamu.
Dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Masih rindu angin malam.
Dan suara jangkrik.
Dan gradasi langit yang perlahan menguning.
Dan kesunyian yang kamu janjikan padaku.
Tempat merenung, tempat berdiam diri, tempat berpikir.
Gelap gulita, bahkan bisikan pun seperti menoreh warna.
Hampir terdengar detak jantungku.
Yang diam-diam melembut karena pangkuanmu.
Halo universa ! Aku akan menghadapi 3 bulan yang penuh kisah.
Ayo kesini dan temani aku.
Dan sambut aku setiap kali aku lari dari dunia nyata.
Kita bersahabat kan, aku dan kamu?
Kamu adalah pelarian yang tak terganti.
Terbaik dari segala ciptaan homo sapiens.
Selamat liburan.
Dan selamat belajar, universa.
Aku pamit.
Tapi tidak pulang.
03.06.14
[F]
Wednesday, May 28, 2014
KSMPMI
Terima kasih. Kita adalah keluarga tanpa perikatan darah. Tanpa
kontrak dan tanpa janji apapun. Kita satu, karena kita mau.
Selesai lagi setahun yang penuh cerita dan pelajaran berharga. Sisa
satu, yang terakhir. Aku masih ingat saat-saat ketika pertama kali aku mengisi
namaku dan mengikuti wawancara pertama untuk masuk dalam KSMPMI. Aku ingat aku
membicarakan tentang Rohingya dan tentang Suriah. Konflik berkepanjangan yang
hingga kini pun masih ada. Aku ingat tatapan kagumku pada orang-orang yang ada
di dalamnya. Para koordinator dan para kakak kelas. Betapa inginnya,
melanjutkan jejak mereka.
Time flies, indeed. Dua tahun ini betul-betul dua tahun yang penuh dengan
kesan. Dengan pelajaran baru dari orang-orang hebat. Aku banyak belajar dan
menerima pengalaman dari orang-orang ini, yang begitu rendah hati dan kaya
wawasan, namun mau berbagi ilmu dan berkembang bersama-sama kami. Selangkah
demi selangkah kami tapaki bersama-sama. Hari Kamis untuk Socratime dan hari
Rabu untuk diskusi internal. Hampir selalu di tempat yang sama. Pertukaran
pikiran yang diselingi percakapan penuh canda. Selalu hangat, selalu
menyenangkan. Setiap pertemuan rasanya seperti sedang berkumpul bersama
saudara, dan bukan terasa seperti rapat.
Aku tidak lupa bagaimana KSMPMI sedikit banyak merubah cara
pandangku terhadap berbagai hal. Something
I don’t earn from classroom. Aku merasa seperti mahasiswa sungguhan, yang
berdiskusi berjam-jam tentang hal yang sering dianggap remeh temeh oleh
sebagian orang. Aku bisa memahami hal-hal yang dulunya aku hindari, topik
tentang Timur Tengah misalnya. Hahaha. Being
in this organization encourages me to always improving myself. Bahwa di
atas langit mash ada langit, dan kita tak boleh sombong. Sama sekali tidak.
Akan selalu ada seseorang yang datang dan membuktikan bahwa kita pun bisa
salah, kita pun bisa kalah. It also
teaches me to speak up my stance. Bahwa kita harus berani bicara. Harus
berani punya prinsip dan tak sekedar dibawa kata kemana-mana. Bahwa kita berani
stand up for something. Tapi di saat
yang sama, kita juga tidak takut untuk dikritik dan ditantang dari perspektif
yang berbeda.
Sungguh, aku sudah mendapatkan banyak sekali hal dari KSMPMI ini.
Jauh lebih banyak dari apa yang aku dapatkan di ruang kelas. Dua tahun aku
telah mendapat, kini setahun terakhir mungkin adalah saat yang tepat untuk
memberi. Memberi kontribusi terakhir untuk KSMPMI, membalas dengan penuh apa
yang telah diberikan. Saatnya untuk mengembalikan.
Memang tak ada awal yang tak ada akhir. Tak ada mulai yang tak ada
selesai. Kini saatnya melanjutkan karya dari kakak-kakak, menjaga titipan yang
mereka minta. Tamen non cesta.
Perjuangan belum berakhir! :”)
Friday, March 14, 2014
Sore Ini
Hari ini aku menjadi kecil lagi.
Menjadi sederhana.
Melepas sepatu dan merendam kakiku dalam genangan air hujan.
Rasanya menyenangkan sekali.
Aku tidak pernah lupa.
Ketika SMA aku selalu suka melakukan ini.
Bermain di bawah hujan.
Walau ekor kudaku tepis kena tempias.
Dan sesekali aku harus berjinjit menghindari batu-batu tajam.
Dan menahan tawa ketika orang-orang yang melihat geleng-geleng
kepala.
“Ngapain atuh neng
ujan-ujan…” begitu katanya.
Ibu hanya belum tahu seberapa menyenangkannya.
Berjalan menembus amuk awan.
Dan untuk sesaat merasa…
Bebas!
14.03.14
[F]
Sunday, February 23, 2014
Puisi dan Kota
Kata seorang filsuf puisi
adalah lagu yang melantun
Ketika lidah kehabisan
kata, dan otak kehabisan ide
Kata seorang filsuf
inderamu menjadi jauh lebih peka
Pada susunan paragraf,
kata, dan rima
Tergugu, terdiam
Di dalamnya terdengar jarum
jam berdetik
Hai, kamu sudah semakin
dewasa
Jari lentikmu menari
Kacamatamu sedikit berdebu
Sanak membaca buku
Lekuk wajahmu selalu serius
Kadang jemarimu menyisir
lembut
Helai-helai rambut wangi
lavender
Sweatermu tampak usang
Namun aku tahu itu alamat
terlalu sering kau pakai
Cucilah, aku mendengus.
Walau dengan senang hati
aku akan
Bergelung di dalamnya.
Kamarmu nyaman.
Selimut percamu menggantung
di tepi ranjang.
Pasti alamat tidur siang
yang kebablasan.
Hidupmu ramai, tapi di saat
yang sama terasa sepi.
Hai, bagaimana kabar?
Kata orang Sunda kumaha
kabarna?
Tersenyum. Kadar senyummu
keterlaluan.
Sungguh manis.
Ah, sungguh kota ini punya
cerita.
Saturday, July 6, 2013
Bulan Juli !
Selamat datang
bulan ketujuh! Aku sambut kedatanganmu dengan perasaan campur aduk. Antara senang
dan murung, kenapa waktu rasanya terlalu cepat berganti?
Bandung. Bagaimana
kabarmu? Ah aku ingat kamar kosku, dengan seprei dan selimut biru. Meja belajar
berwarna jingga. Bintang dan serpihan salju glow
in the dark yang aku tempel membentuk tanda salib. Yang setiap malam aku
lihat sebelum terlelap, dan yang pertama kali kulihat pula ketika mataku masih
mengerjap-ngerjap ngantuk di pagi hari.
Bandung. Banyak
pekerjaan dan tanggungjawab yang menanti. Setelah liburan selesai dan piyama
berganti kemeja kuliah, saatnya menunaikan tugas-tugas kembali. Semangat baru,
amanat baru, pemikiran yang baru.
Aah~sisa sebulan.
Tiga puluh hari, untuk sekedar bersantai di rumah sendiri. Menonton tivi
kapanpun aku suka, bangun jam berapapun aku mau, bebas merencanakan kapan dan
kemana pun aku pergi. Bulan Juli, jangan segera berakhir. Tinggallah lebih
lama. (:
Subscribe to:
Posts (Atom)