Wednesday, September 9, 2015

Karena Kamu



Karena kamu, aku lupa betapa sayangnya aku pada buku
Pada judul dan rangkaian kata yang siap mengungkap hidup yang lain
Pada tumpukan kisah sejarah Eropa sampai romantika Asia Tenggara
Pada kenikmatan menyusuri perpustakaan, lembar, dan tanda baca

Karena kamu, aku lupa betapa senangnya aku menulis
Karena ketika kamu ada aku meluangkan seluruh waktu
Denganmu, untukmu.
Dan tak ada waktu tersisa untuk sekadar menulis jemu

Karena kamu, aku lupa betapa cintanya aku berjalan-jalan sendiri
Pada trotoar pejalan kaki, pada suara yang kudengar dari dalam diri
Pada perenungan tak terbatas yang sering kutemui
Ketika kaki menapak tanpa arah, tanpa teman, tanpa tujuan

Karena kamu, aku lupa sebagian kecintaan diriku yang terdahulu
Dengan kamu aku hanya punya satu obat eliksir.
Dengan kamu aku percaya aku hanya punya satu adiksi.
Satu candu. Satu hobi. Hal yang paling menarik.

Iya, kamu.

[F]

Friday, August 7, 2015

To Be Alive


Di beberapa momen yang indah, aku selalu berkata di dalam hati, “What a great time to be alive.”

Semuanya mudah. Berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang yang berada di belahan dunia lain kini semudah menekan layar sentuh di ponsel pintar. Menyebarkan berita atau pengumuman pernikahan kini semudah memasang foto terbaru di instagram dan jaringan sosial lainnya yang menjamur. Bingung mencari tahu cara membersihkan virus dari laptop? Tinggal meminta google mencari jawabannya untuk kita. Apapun yang ingin kita tanyakan, google bisa menjawabnya. Membeli baju dan melihat-lihat isi buku kini dapat dilakukan dari perangkat elektronik yang sama, yang mengijinkan kita untuk tak perlu mandi dan mengangkat kaki dari rumah.

Tapi di sisi yang lain, aku merasa khawatir. I am worried.

Kini bercakap-cakap dengan orang tak bisa semudah dulu. Kini semua orang – di stasiun, di halte, di toko, di jalan raya – semua sibuk dengan ponselnya masing-masing. Tak ada yang menengadahkan kepala untuk melihat dunia nyata. Semua menunggu dengan bosan, berharap tak ada yang mengajak berbicara, semua menggerakkan jarinya dan menggulir konten media sosial. Tak ada yang peduli. Tak ada yang ingin membuka pembicaraan.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Lima menit pertama ia menatap kita namun lima menit kemudian ia hilang memberikan Likes di foto-foto orang lain. Manusia di masa kini seperti dilatih untuk memiliki konsentrasi jangka pendek. Teori yang mengatakan bahwa manusia hanya bisa berkonsentrasi di 30 menit pertama mungkin haris direevaluasi kembali. Dengan banyaknya tombol dan notifikasi berhamburan, mereka tak tahan harus bercakap-cakap selama satu jam. Mereka tak tahan untuk mengabaikan segala macam bunyi dan pendar dari layar ponsel dan iPad mereka.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Kini orang-orang tak saling bertemu lagi. Bersalaman dan berpelukan tak lagi semengasyikkan snapchat dan ask.fm. Orang tak lagi saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Pasangan tak lagi menyempatkan diri untuk duduk bersama dan bercakap-cakap. Mereka didominasi oleh Line, BBM, dan Whatsapp. Emotikon dan huruf, tapi, tak akan pernah menggantikan ekspresi wajah dan sentuhan tangan yang biasa dipertukarkan.

Aku khawatir melihat manusia tak lagi membaca buku cetak. Dan ayah-ibu tak lagi bermain sepeda dengan anaknya, atau membawa mereka bermain di taman hiburan. Aku khawatir tablet telah menggantikan peran orangtua, in so many ways. Aku khawatir nantinya manusia tidak akan berkomunikasi satu sama lain, karena semua kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh satu perangkat canggih bernama teknologi. Kelas berisi 50 orang tak pernah sesepi ini, semuanya sedang sibuk dengan ponsel masing-masing sementara sang dosen sedang menerangkan panjang lebar. Tak ada yang mau menolong korban kecelakaan karena mereka berpikir itu adalah modus kejahatan terbaru, dan jika mereka menolong maka mereka akan ditodong. Dunia ini, berubah menjadi lebih baik dan lebih buruk di saat yang sama.

Dan kadang-kadang aku berkata dalam hati, “What a bad time to be alive.”

[F]

Thursday, July 30, 2015

MR: 13 Going on 30


Hai! Hari ini mau memulai sesuatu yang telah lama terpendam, yaitu menulis Movie Review/Recommendation. Kenapa movie? Simply because self-proclaimed I have a pretty good taste in movies. Hahaha. Mungkin karena hobi nonton film dan baca buku, jadi lama-lama terbiasa ngeliat alur cerita, karakter, plot, dan sebagainya.

So, the first movie I want to review is “13 Going on 30”


Ini salah satu film favorit yang udah ditonton berpuluh-puluh kali. To be honest, kayaknya aku udah hafal sama skenario dan lines dari masing-masing karakternya.

Film ini keluar tahun 2004, udah cukup lama sih emang. Ceritanya ada seorang anak perempuan namanya Jenna Rink (Jennifer Gardner) yang lagi berulangtahun yang ke-13. Kayak anak-anak remaja lainnya, Jenna pingin cepet jadi wanita dewasa. Pingin bisa pakai make-up, jadi cantik, punya boobs, punya pacar ganteng, dan sebagainya. Dia bertemen baik sama cowok gendut bernama Matty Flamhaff (Mark Ruffalo). Karena dia pingin banget jadi populer, dia terpaksa harus hang out sama cewek-cewek populer typical American movie (serba-pink, bitchy, blonde). Salah satunya yaitu Lucy Wyman (Judy Greer). Tapi mereka ga pernah bisa menerima Jenna dan malah nyuruh Jenna untuk ngerjain PR mereka. Lucy dkk. bahkan ngegodain Jenna sama Matt. Singkatnya karena Jenna desperate, dia akhirnya frustasi dan ngamuk-ngamuk di balik lemari. Waktu itulah ada wishing dust yang bisa mengabulkan permintaan, yang akhirnya bener-bener ngebawa Jenna ke masa depan, waktu dia umur 30 tahun.

Si Jenna seneng setengah mati karena turns out semua yang diinginin ketika dia masih muda tercapai. But it comes at a cost. Thirty-year old Jenna doesn’t speak to her parents anymore, doesn’t hang out with Matt anymore. She turns into someone with bad attitude. Tapi Jenna pingin berubah, dan pingin berteman lagi sama Matt, mungkin malah lebih dari teman. Sampai dia akhirnya sadar kalau waktu ga bisa seenaknya diputerbalik.

What I love about this movie: it’s honest, and fun, and we all can relate to this story. Sebagai cerita drama komedi, banyak adegan yang bikin kita ketawa liat tingkah Jenna. Dia tiba-tiba dansa ala Michael Jackson, atau makan permen di sela-sela rapat. Akting Jennifer Gardner keliatan alami, gak terkesan dibuat-buat. Mark Ruffalo juga sama, aktingnya natural, cool, dan ga terlalu ekspresif.

Dansa Thriller ala Michael Jackson
Character-wise, orang-orang yang ada di film ini bisa kita jumpai di kehidupan sehar-hari. Anak kecil yang ga sabar jadi dewasa, kelompok populer dan kelompok nerd, rekan kerja yang bitchy, bos yang gay, dll. Gak ada perbedaan kutub protagonis dan antagonis yang terlalu lebar. Kalau biasanya di film kita bisa benci banget sama karakter antagonis, disini enggak. Karena semuanya logis, gak ada karakter yang tanpa motivasi apapun terus tiba-tiba jadi super menyebalkan.

Plot-wise, I’m gonna give 7.5 out of ten. Ketika liat film ini, kita kira-kira udah dapet gambaran ceritanya akan berjalan kayak gimana. Tapi ada twist menarik di bagian ending yang bikin jadi less predictable. Ada adegan-adegan yang bisa dipotong, kayak misalnya ketika Jenna nyanyi-nyanyi sama anak kecil. Naik-turunnya terjaga, walaupun ga bisa dibilang ada faktor “Wow”nya. Tapi ceritanya sangat nostalgic dan bisa bikin kita senyum-senyum sendiri inget waktu jaman jatuh cinta SMA.

Message-wise, well aku percaya kita bisa selalu belajar dari sebuah film. Semua cerita ada pesan moralnya kan? Dan kalau ga ada, then it’s a pure useless entertainment. Ada beberapa hidden message yang bisa didapet setelah nonton film ini sih. Pertama, it is never too late to become a better person. Jenna membuktikan dia bisa berubah dari karakter dia yang dulu. Dua, sometimes what we dream of is not really what we need. Cowok terganteng di angkatan Jenna aja akhirnya jadi supir taksi di New York. Jenna udah dapetin semua yang dia mau sejak kecil, tapi ternyata itu ga sepadan kalau dia harus kehilangan orangtua atau sahabat baik dia. Tiga, be careful what you wish for!

So overall, it was a fun and romantic movies! An easy watch. Kalau belum pernah nonton, go ahead rent the DVD, I bet you’ll like it!

Director: Gary Winick
Writers: Josh Goldsmith, Cathy Yuspa
Stars: Jennifer Garner, Mark Ruffalo, Judy Greer

PS: Hey, if you want to read my review about certain movies, please put it in the comment box and I’ll review it ;)

[F]

Thursday, July 23, 2015

The Future of Society


Suatu saat kita tak akan lagi merasakan ngantri berjam-jam untuk mencoba martabak nutella. Karena kini ada bapak-bapak Gojek dan Yesbos yang siap membungkus pesanan kita dan mengantarnya langsung ke depan rumah.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya belajar menyetir mobil. Karena Google sudah menemukan cara untuk membuat mobil yang tak perlu pengemudi, auto-driver. Kita hanya perlu duduk diam menunggu sampai tujuan.

Suatu saat kita tak akan lagi melihat konser sambil berteriak-teriak kegirangan melihat penampilan idola. Karena kini semua orang menggunakan tongkat narsis, tablet perekam, dan drones kamera yang melayang kemana-mana.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gugupnya membuka pembicaraan dengan orang yang disukai. Atau menunggu-nunggu untuk bertemu setelah sekian lama. Karena kini semua media sosial memperbolehkan semua itu terjadi, setiap hari, gratis.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan rumitnya menghapal jalan dan peta. Suatu saat kita tak akan lagi tersesat di tempat yang tak pernah kita kunjungi. Karena kini ada google maps dan waze, yang lebih hafal jalan dibandingkan peta kusut yang mulai robek di bagian pinggir karena tak terpakai.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan pentingnya mengingat sesuatu. Mengingat tahun berapa Perang Dunia berakhir dan siapa nama istri Jokowi. Karena kini ada Google yang hanya sejarak sentuhan jari, yang tanpa basa-basi menjawab hal-hal kecil yang tak pernah kita ingat.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan asyiknya melihat album foto bersama-sama. Karena kini ada Instagram, periskop, dan vsco, semua diumbar, semua adalah milik umum. Foto berbikini, foto dengan pacar, foto dengan pak presiden, semua orang bisa melihatnya.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan bagaimana dengan sungkan minta difotokan oleh orang tak dikenal. Karena kini ada Gopro, yang langsung terhubung dengan telepon pintar. Kita tak butuh bantuan orang lain, bukan?

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gilanya menceburkan teman ke kolam renang. Karena kini di kantongnya ada kamera poket, ponsel keluaran terbaru, tablet berukuran seperti tivi, jam tangan digital yang tersambung ke ponsel, dan kabel pengecas yang dibawa kemana-mana. Karena semuanya lebih penting dari kenangan yang kita ingat hari itu, jika kita menceburkan dia ke kolam.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan capainya menulis dengan tangan. Karena kini ada voice command, ada evernote, dan ada laptop. Semuanya tak butuh cekeran ayam dengan pulpen yang sering luntur. Karena kini semuanya serba tertulis dengan huruf cetak macam arial dan times new roman. Dan tak ada ruang untuk tulisan tegak bersambung yang diajarkan sedari TK.

Suatu saat kita tak akan lagi mendengar alunan asli instrumen piano, gitar, kecapi, gendang, hingga violin. Karena kini ada musik elektronik yang bisa menggabungkan semuanya, yang tinggal tekan dan pencet, tak perlu kursus berlama-lama dan tak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya.

Suatu saat kita tak akan lagi bertemu dengan ibu-ibu penjual rokok di tepi jalan, atau bapak-bapak penjual cendol di depan pasar. Karena kini semuanya tergantikan dengan vending machine.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan hangatnya dijamah oleh resepsionis atau pramugari cantik nan santun. Karena kini hotel-hotel menggunakan layar canggih dan robot ramah yang tak perlu dibayar tinggi. Karena kini manusia tak begitu berharga lagi.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya mengulek sambel hingga menangis, atau berjam-jam membuat kuah kari. Karena kini ada bumbu instan yang hanya perlu dituang, ada bumbu bubuk yang membuat semua makanan terasa enak, hemat berjam-jam.

Suatu saat mungkin.....
Manusia sadar bahwa waktu tak bisa diulang kembali.

Suatu saat mungkin..
Manusia bertanya-tanya,
“Lalu aku kerja apa?”

[F]

Friday, July 17, 2015

Waktu


Waktu tak membohongi
Satu insan pun yang berusaha mengingkari
Dengan kamu disana dan aku disini
Jauh memang, tapi tak pernah sejauh ini

Pada jam dua pagi, angin malam menyapa
Membuat aku menggigil
Tapi menggigil bahagia
Kamu tahu betapa cintanya aku pada kedinginan
Jauh lebih cinta pada bulan
Dibanding matahari

Tawa membuat semuanya hangat
Menghembuskan tambahan oksigen
Menghela napas panjang
Ah, bahagia begitu sederhana
Sesederhana lengkung bernama senyum
Bersama orang-orang tersayang
Sesederhana cekikik nyaring
Pada lelucon garing
Tradisi yang sungguh familiar
Dan di saat yang sama, membuat rindu berulang-ulang

Rasanya lengkap
Tapi kamu membuatnya kurang
Kamu pernah ada, kamu pernah menyempurnakan

[f]


Takut Kalah


Baru-baru ini aku mendaftarkan diri untuk mengikuti program summer university di India selama sebulan. Aku mengerahkan segala kemampuan dan ketika sudah mengumpulkan aplikasi, aku menyadari seberapa inginnya aku mendapatkan kesempatan ini. Bukan hanya sekedar iseng-seng berhadiah. Aku berdoa, dan selalu berharap semoga aplikasiku lolos. Dan setelah penantian selama 2 minggu, barusan aku mendapatkan email bahwa aku tidak lolos. *put a teary eyes emoticon here* Bersamaan dengan itu juga aku gagal mengikuti conference di South Korea. Dua penolakan di bulan yang sama. Aku kecewa. Tentu saja, siapa sih yang tidak mau dibayari full di negeri asyik macam India dan Korea?

Lalu kemudian aku mendengar diriku sendiri berkata, “Ah, kamu cupu Len. Baru ditolak beberapa kali aja udah minder. Udah merasa self-conscious dan ga pede. Berarti kamu belum siap kalah.”
Siap kalah. Kadang kita menganggap remeh kualitas itu. Aku pernah baca buku yang kira-kira berjudul, kenapa mahasiswa yang mendapat nilai A bekerja untuk mahasiswa yang mendapat nilai C. Kira-kira penjelasannya begini: mahasiswa yang mendapat nilai A biasanya tidak bekerja keras untuk mendapatkan nilai itu. Mereka bisa menaklukkan pelajaran dengan mudah, belajar sehari sebelumnya pun bisa mendapat A. Tapi mahasiswa yang biasanya mendapat nilai C selalu mengeluarkan kekuatan lebih untuk belajar. Mereka menyicil dari jauh-jauh hari, belajar bersama, mencatat, dsb. Ketika keduanya lulus di dunia kerja, itu jugalah yang terjadi. Mahasiswa yang terbiasa mendapat kekecewaan dengan nilai C akan terus menerus memperbaiki performa dan kualitas kerjanya. Itu yang menjelaskan mengapa kita semua harus siap kalah dalam segala hal yang kita kerjakan.

Sebagai orang yang berkecukupan, aku jarang merasakan kekalahan. Jujur, itu sesuatu yang aku syukuri. Aku tidak pernah di-bully, punya teman-teman yang care denganku, punya keluarga yang harmonis, dan beberapa kali hidup membukakan pintu-pintu yang tepat untuk memberikan aku pengalaman yang luar biasa langka. Jadi – mungkin – aku tidak biasa merasakan yang namanya kalah. Itulah mengapa ketika aplikasiku ditolak oleh 2 institusi yang berbeda, aku langsung ciut. Langsung minder dan langsung berpikir-pikir ulang untuk mendaftar acara serupa.

Bodoh memang. We cannot win all the time, right? Ketika kita mendaftar di lomba catur, tentu kita tahu bahwa kesempatan untuk kalah sama besarnya dengan kesempatan untuk menang. Kita tahu bahwa kita mendaftarkan diri untuk kalah. Bahwa jika dihitung secara matematis, maka probabilitas untuk kalah tentu lebih besar dibandingkan menang. Lihat saja, dari 1000 atlet olimpiade, hanya 50 yang berhak menjadi juara. Tapi kadang kita lupa bahwa semua hal ada sisi kalahnya, bahkan ketika kita mencintai seseorang. Membuat kue itu bisa gagal. Mendaftar ke lomba itu bisa gugur. Menjalin pernikahan itu bisa cerai. Menyayangi seseorang juga bisa ditolak. Untuk setiap keputusan, kita tahu bahwa peluang untuk kalah lebih besar dari peluang untuk menang.

Tapi, apakah kita cukup berani untuk mencoba?

Remember this: sometimes you win, sometimes you learn. Jadi, setiap mau melakukan sesuatu, pikirkan dulu, udah siap belum kalau yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan? Jangan terburu-buru membayangkan, ah pasti menang hadiah uang, ah pasti berhasil, ah pasti lolos, ah pasti keren kalo jadi juara, dll. Dan kalau dipaksa harus kalah, mungkin itu tandanya kita harus belajar lebih banyak dan berusaha lebih keras. Never a mistake, always a lesson. Semangat ya, untuk kesempatan-kesempatan emas yang menunggu untuk dicoba!

[f]

Tuesday, July 7, 2015

Us with Our Battles


Kita semua sedang berjuang kok.
Benar, kita punya perang yang harus kita hadapi sendiri-sendiri.

Ada yang berjuang mencari nasi untuk istri dan anaknya.
Ada yang berjuang agar upah hari ini cukup untuk makan satu kali.
Ada yang berjuang supaya dagangannya dibeli.
Ada yang berjuang menahan lapar dan haus.
Ada yang berjuang supaya tak menangis ditinggal pergi.
Ada yang berjuang mempertahankan bisnis yang di ambang bangkrut.
Ada yang berjuang mengalahkan penyakit mematikan.
Ada yang berjuang menyetir bemo dan angkot di terik panas.
Ada yang berjuang menjadi ojek payung dan rela basah demi uang.
Ada yang berjuang memerangi hati nurani di sangkar prostitusi.
Ada yang berjuang bertahan hidup ketika yang dikasihi mati.
Ada yang berjuang menabung agar anaknya punya tas baru.
Ada yang berjuang ngamen di jalan agar bisa makan.
Ada yang berjuang menjadi juara satu di kelas.
Ada yang berjuang memuntahkan makanan agar tetap kurus.
Ada yang berjuang merawat ibu yang sakit keras.
Ada yang berjuang mengumpulkan koin gratis di Line.
Ada yang berjuang mencari kebahagiaan.
Ada yang berjuang untuk bernapas sehari lagi.
Ada yang berjuang di sakratul maut setelah ditabrak lari.
Ada yang berjuang mencari merek kosmetik terbaru hingga luar negeri.
Ada yang berjuang menciptakan lagu.
Ada yang berjuang untuk keluar dari kota kelahiran.
Ada yang berjuang untuk mendapat beasiswa S-2.
Ada yang berjuang melawan diri sendiri.
Ada yang berjuang, sendirian.

Kita semua sedang dalam perjuangan. Perjuangan kita masing-masing yang tak kalah hebat. Jadi tolonglah, jangan memamerkan penderitaanmu di depan khalayak ramai. Tak usah ganti status, tak usah bilang ke semua orang bahwa pacarmu selingkuh. Tak usah gores-gores diri, tak usah mencoba bunuh diri. Tak usah sombong ke dunia bahwa kamu orang paling menderita. KIta sudah punya penderitaan kita sendiri-sendiri.

Bagaimana kalau, sebagai gantinya, kita saling menyemangati?
Bagaimana jika kamu memaafkan angkot yang berhenti tiba-tiba.
Atau bis yang lewat cepat memercikkan air ke jinsmu yang harganya sejuta.
Atau ibu-ibu yang melayanimu dengan cemberut tanpa senyum.
Atau tukang ojek yang minta bayaran sedikit lebih banyak.

Bagaimana kalau, sebagai gantinya, kita saling mengapresiasi?
Bahwa setiap orang sedang berjuang mendapatkan sesuatu yang cenderung tak kita pahami.
Bagaimana kalian bisa paham bahwa sepatu bekas bisa membuat anak kecil bersorak-sorak?
Bagaimana kalian bisa paham bahwa tukang angkot ingin cepat bertemu dan berbuka puasa dengan istrinya?
Tentu saja tidak bisa, karena kita tidak pernah mengalaminya.

But just because we never feel it, doesn’t mean other people can’t feel it too.

Bagaimana kalau,..
Kita tersenyum lebih banyak.
Dan mengeluh lebih sedikit.
Percayalah, tak hanya kamu yang sedang berjuang.

[f]


Monday, June 29, 2015

Goodbyes


What is it with goodbye that scares us the most? What is it with the words goodbye that crack us to tears and sadness? Why is it that we always believe that goodbye means we will break down and never be happy again?

Perpisahan itu selalu menyakitkan. Dan kalau ada orang yang bilang there is such thing as beautiful goodbye, I will punch him right in the face. Berpisah dengan orang itu berat. Bukan karena untuk sementara kita ga akan ketemu dengan dia. Bukan karena untuk sementara kita akan sendiri. Tapi karena kita ga tau berapa lama lagi sampai perjumpaan mendatang. Mungkin sehari, mungkin sebulan, mungkin setahun, atau mungkin dia ga akan ada lagi. Mungkin bagian dia di jalan cerita hidup kita sudah selesai. They have done their parts.

Here is the thing. We never know when the last good bye is. We could have said good bye to our ex-boyfriend but in all of a sudden we could run into him in the bookstore. Life has its own maze to avail us meet people from the past. Here is another thing, aku pernah lihat video yang mengajarkan bahwa manusia sekarang (homo sapiens) punya otak yang jauh lebih besar dari manusia jaman dahulu kala (homo javanicus). Salah satu bagian otak yang berkembang adalah otak bagian depan, yang memungkinkan kita untuk merasakan sesuatu yang belum atau akan kita rasakan. Kita punya bayangan akan masa depan, manusia kuno tidak pernah merasakan pengalaman itu.  

Misalnya gini, ketika kita bilang kita pingin ayam goreng, otak bagian depan kita memberikan kita bayangan dan gambar ayam goreng itu. Harum, crispy, warna keemasan, enak. Jadi tanpa ragu kita akan langsung gas motor dan pergi ke ayam KFC terdekat. This is the simple example. What it has to do with our feeling is, ketika kita mengucapkan perpisahan dengan orang lain, bukan momen perpisahan itu yang bikin kita nangis. Bukan karena kebersamaan selama beberapa hari/bulan/tahun yang harus berakhir. Yang bikin kita sedih adalah karena otak depan kita membayangkan the future without this person. Ketika nenek kita meninggal misalnya, yang membuat kita sedih adalah: “ga ada lagi nenek yang selalu masakin sup kesukaan”, “ga bisa lagi cerita-cerita dan jalan-jalan”, “Nenek ga bisa dateng ke wedding aku”. You see? Those kind of thoughts are the reflection of our future. We are sad because our brain is reflecting how our future will be without them.

So the thing about goodbye is pretty simple, actually. Right after watching that video, I began to realize what I’ve done wrong all this time. I keep picturing my life without them and I forget to be grateful WHILE THEY ARE HERE, in my life. I keep being sad knowing that we may separate and I forget to be in the moment. To enjoy the time we have. And when it is the time to say goodbye, you should remember that the pain is caused by the brain, which is trying to project something which has not happened yet. That’s how you’ll survive every goodbyes.
[F]

Thursday, June 18, 2015

Biggest Fear

Do you really want to know what my biggest fear is? Not that I will fail my marriage, or not being able to find someone worth-marrying-for, or having a decent life and not the super-rich one, none of them are my biggest fear.

My biggest fear would be: not being able to chase after my dreams. Whether or not I manage to get those dreams are completely different story. But I have this one life. This one chance. And I’m not about to blow it by living ordinarily. My biggest fear would be: Marrying someone and regretting that very decision. Marriage is not a must, that is often forgotten. Marriage is a choice and unless there’s super special person that can assure me that “together” is far better than “alone”, I will not take that choice.

My biggest fear would be: sitting in my office cube, doing the same thing everyday in my life, browsing the latest travel photos and wallpapers, convincing myself that I, too, can experience that one day. I want to see and explore the world. I want to expand my knowledge and my self. And that can’t be done by sitting in the office cube, doing reports, obeying the boss. If we do not have big enough dream, we’ll end up working so hard to fulfill someone else’s dream.

My biggest fear would be: not having time to do my favourite things, reading books, going on an adventure, escaping every now and then. Life shall be full of impromptu journeys and laughs, jawbreaking sceneries and events, thrilling sneak-out and road trips.

Oh, what whould it be if all our teenage dreams and ambitions are gone to waste? What if we live the life, the same ordinary way with 7 other billion people? What if at the end of our life, we look back and regret the chances we did not take?

That would be my biggest fear, of all.


[f]

Paradoks


Kamu adalah sebuah paradoksikal lucu.
 Aneh. Tapi aku tak bosan bilang padamu.
 Kamu seperti ingin putih namun separuh dirimu sudah hitam.
 Seperti ingin jadi berandal walau setengah hatimu tak tega jadi jagal.
 Kamu seperti ingin terbang padahal kakimu mengayuh lincah di dasar kolam.
 Ingin marah, tapi senyummu sudah temaram.

Kamu adalah pengecualian yang aku buat.
 Agar orang tak curiga melihat gelagat.
 Karena yang nyata tak sama dengan apa yang terlihat.
 Mudah, bersamamu selalu mudah.
 Mulai masak, tertawa, belanja, hingga bekerja.
 Bersamamu tak ada yang sia-sia.
 Jadi tinggallah, jadi paradoks yang aku butuhkan.
 Niscaya aku akan buat kamu bahagia.
 
[f]

World is Meant to be Traveled


Halo! Salam dari ibukota. Hari ini Tuhan menampar aku di muka. Ya, Dia seolah mengguncang badanku untuk bangun dan kembali ke realita. “Falen, where have you been?” Orang-orang selalu bilang bahwa ada hal yang bisa disyukuri setiap hari. Dan hari ini – seperti juga banyak hari lainnya – aku merasa bersyukur. Bersyukur dan ditampar.

Bersyukur -> aku bersyukur karena aku diberi kesempatan untuk belajar banyak hal. Aku bersyukur aku diberi kepekaan, kerendahan hati, kemampuan akademik yang cukup untuk melalui masa-masa wajib belajar. Aku bersyukur diberikan orangtua lengkap yang sangat sayang padaku, yang me-Line aku setiap hari untuk sekedar tau kabar. Aku bersyukur diberikan teman-teman yang – bukan banyak, namun – sangat baik padaku. Mereka yang sepaham, sejalan, dan membantuku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Aku bersyukur, karena Tuhan membuat aku ingat untuk bersyukur.

Ditampar -> Hari ini aku dapat tugas dari tempat kerja untuk melakukan riset terhadap para blogger-blogger dan celebgram terkenal di Indonesia. Dan disitulah kisah pembelajaran ini bermula. Aku menelusuri internet lebih dalam dari platform blog harian dan sosial media. Kemudian aku menemukan orang-orang seperti Amrazing, EatandTreats, people who literally live for food and traveling. Mereka bisa berkeliling ke banyak negara secara gratis. Bayar pakai apa? Pakai modal tulisan dan jiwa petualang, kreativitas, perbedaan, keunikan, diri yang autentik. Dulu aku selalu merasa there is no such job. Tidak ada pekerjaan yang menyuruh kita untuk jalan-jalan atau mencoba makanan baru. Tapi hari ini aku menemukan yang senyata-nyatanya. Aku merasa sangat terpecut. Aku belum ada apa-apanya, masih anak manja yang minta uang pada mama untuk makan di cafe-cafe hedonis. Masih suka mengeluh panas, mengeluh lapar, masih benci menabung dan malas bangun pagi. Masih selalu berpikir “Ah, nanti juga tiba waktunya kerja. Sekarang nikmati saja.” Aku masih ada di mentalitas seperti itu. Karena itu makanya Tuhan menamparku. Supaya aku bangun dan mulai melakukan sesuatu.
Setiap orang bisa bahagia. Itu adalah formula paling universal di dunia. Tapi cara kita mendefinisikan bahagia itulah yang akan mencerminkan seperti apa hidup idaman yang kita mau. Menurutku, bahagia adalah ketika aku bisa berjalan-jalan melihat bagian dunia yang lain. Dengan gratis, kalau perlu. Aku ingin berkelana dengan bebas, bertemu dengan orang yang tak sebahasa denganku, yang tak tahu Indonesia itu dimana, atau Falen itu siapa. Aku ingin mencoba hal-hal baru. Aku ingin bungee jumping di New Zealand, makan pasta di Itali, menonton festival cahaya di India, menjelajah safari di Afrika Selatan, naik balon udara di Capadocia, singgah di Maccu Pichu, naik ke Burj Khalifa, dan masih banyak lagi. Aku tidak percaya Tuhan menciptakan dunia sebegitu luas hanya untuk ditinggali saja. World is meant to be traveled.

Jadi aku sangat senang setelah ditampar tadi. Biar aku tahu bahwa hidupku ini bukan untuk main-main saja. Bukan untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya kemudian tinggal di mansion mewah sendiri, dengan mobil yang tiap hari ganti. Tuhan ingin bilang bahwa kita perlu keluar dari negara masing-masing dan bertemu saudara kita di tempat lain. Tuhan menyesal karena manusia membuat garis batas antarnegara yang tak tampak. Hai Tuhan, I hear you :’) Aku akan ingat bahwa semua hal itu mungkin. Jika bahagia adalah berkelana, maka aku harus berusaha untuk mewujudkannya. Harus, harus berhasil. Karena Tuhan menciptakan kamu luar biasa.

[f]

Saturday, January 3, 2015

Untuk Bandung


Kerlap kerlip lampu selalu menjadikan jendela ini seperti berpayung senyum. Aku dengan penuh hela napas akan menggeser kabin kacanya, mentransfusi udara dingin yang sedang melayang-layang setelah rintik hujan berlalu. Satu hal yang pasti, dua daun jendela ini adalah cinta pertama yang aku rasa ketika aku memasuki kamar kosku pertama kali. Aku tahu, aku akan betah. Aku akan menghabiskan pagi, subuh, siang, senja, malam, dan fajar, berdekatan dengan dunia luar di balik kaca yang berembun. Kadang tersapu debu, kadang jernih, kadang dihinggapi serangga-serangga bersayap, yang mengepak sayap hingga ke lantai dua, kadang pula dikotori oleh kotoran burung dan entah binatang apa.

Hari ini, 450 hari kira-kira. Bandung masih tetap sama, dari tengokku kala pertama. Aku tetap berkutat dengan laptop biru yang menyimpan sebagian jiwaku di dunia maya. Dan udara yang dingin membuatku bersin, walau kucoba tangkal dengan seoles minyak beraroma kayu putih. Segelas susu dan sereal telah kunikmati, hangatnya bukan hanya ke perut, melainkan pula ke hati. Aku menikmati saat-saat yang selalu ada, tapi jarang aku syukuri. Ketika untuk sejenak tugas-tugas bisa menunggu, orang-orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, ketika hari libur menyapaku hangat, memberikan secercah keceriaan dan napas baru. Sungguh, kadang kebahagiaan tidak perlu dicari setengah mati. Kebahagiaan itu timbul, bukan dicari.

Bandung, kamu telah menjadi perantauan yang tak pernah aku sesali. Terima kasih untuk malam ini, 450 malam yang telah berlalu, dan… ratusan hari yang akan datang. Kecup. Dan doa.

[f]