Wednesday, September 9, 2015

Karena Kamu



Karena kamu, aku lupa betapa sayangnya aku pada buku
Pada judul dan rangkaian kata yang siap mengungkap hidup yang lain
Pada tumpukan kisah sejarah Eropa sampai romantika Asia Tenggara
Pada kenikmatan menyusuri perpustakaan, lembar, dan tanda baca

Karena kamu, aku lupa betapa senangnya aku menulis
Karena ketika kamu ada aku meluangkan seluruh waktu
Denganmu, untukmu.
Dan tak ada waktu tersisa untuk sekadar menulis jemu

Karena kamu, aku lupa betapa cintanya aku berjalan-jalan sendiri
Pada trotoar pejalan kaki, pada suara yang kudengar dari dalam diri
Pada perenungan tak terbatas yang sering kutemui
Ketika kaki menapak tanpa arah, tanpa teman, tanpa tujuan

Karena kamu, aku lupa sebagian kecintaan diriku yang terdahulu
Dengan kamu aku hanya punya satu obat eliksir.
Dengan kamu aku percaya aku hanya punya satu adiksi.
Satu candu. Satu hobi. Hal yang paling menarik.

Iya, kamu.

[F]

Friday, August 7, 2015

To Be Alive


Di beberapa momen yang indah, aku selalu berkata di dalam hati, “What a great time to be alive.”

Semuanya mudah. Berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang yang berada di belahan dunia lain kini semudah menekan layar sentuh di ponsel pintar. Menyebarkan berita atau pengumuman pernikahan kini semudah memasang foto terbaru di instagram dan jaringan sosial lainnya yang menjamur. Bingung mencari tahu cara membersihkan virus dari laptop? Tinggal meminta google mencari jawabannya untuk kita. Apapun yang ingin kita tanyakan, google bisa menjawabnya. Membeli baju dan melihat-lihat isi buku kini dapat dilakukan dari perangkat elektronik yang sama, yang mengijinkan kita untuk tak perlu mandi dan mengangkat kaki dari rumah.

Tapi di sisi yang lain, aku merasa khawatir. I am worried.

Kini bercakap-cakap dengan orang tak bisa semudah dulu. Kini semua orang – di stasiun, di halte, di toko, di jalan raya – semua sibuk dengan ponselnya masing-masing. Tak ada yang menengadahkan kepala untuk melihat dunia nyata. Semua menunggu dengan bosan, berharap tak ada yang mengajak berbicara, semua menggerakkan jarinya dan menggulir konten media sosial. Tak ada yang peduli. Tak ada yang ingin membuka pembicaraan.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Lima menit pertama ia menatap kita namun lima menit kemudian ia hilang memberikan Likes di foto-foto orang lain. Manusia di masa kini seperti dilatih untuk memiliki konsentrasi jangka pendek. Teori yang mengatakan bahwa manusia hanya bisa berkonsentrasi di 30 menit pertama mungkin haris direevaluasi kembali. Dengan banyaknya tombol dan notifikasi berhamburan, mereka tak tahan harus bercakap-cakap selama satu jam. Mereka tak tahan untuk mengabaikan segala macam bunyi dan pendar dari layar ponsel dan iPad mereka.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Kini orang-orang tak saling bertemu lagi. Bersalaman dan berpelukan tak lagi semengasyikkan snapchat dan ask.fm. Orang tak lagi saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Pasangan tak lagi menyempatkan diri untuk duduk bersama dan bercakap-cakap. Mereka didominasi oleh Line, BBM, dan Whatsapp. Emotikon dan huruf, tapi, tak akan pernah menggantikan ekspresi wajah dan sentuhan tangan yang biasa dipertukarkan.

Aku khawatir melihat manusia tak lagi membaca buku cetak. Dan ayah-ibu tak lagi bermain sepeda dengan anaknya, atau membawa mereka bermain di taman hiburan. Aku khawatir tablet telah menggantikan peran orangtua, in so many ways. Aku khawatir nantinya manusia tidak akan berkomunikasi satu sama lain, karena semua kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh satu perangkat canggih bernama teknologi. Kelas berisi 50 orang tak pernah sesepi ini, semuanya sedang sibuk dengan ponsel masing-masing sementara sang dosen sedang menerangkan panjang lebar. Tak ada yang mau menolong korban kecelakaan karena mereka berpikir itu adalah modus kejahatan terbaru, dan jika mereka menolong maka mereka akan ditodong. Dunia ini, berubah menjadi lebih baik dan lebih buruk di saat yang sama.

Dan kadang-kadang aku berkata dalam hati, “What a bad time to be alive.”

[F]

Thursday, July 30, 2015

MR: 13 Going on 30


Hai! Hari ini mau memulai sesuatu yang telah lama terpendam, yaitu menulis Movie Review/Recommendation. Kenapa movie? Simply because self-proclaimed I have a pretty good taste in movies. Hahaha. Mungkin karena hobi nonton film dan baca buku, jadi lama-lama terbiasa ngeliat alur cerita, karakter, plot, dan sebagainya.

So, the first movie I want to review is “13 Going on 30”


Ini salah satu film favorit yang udah ditonton berpuluh-puluh kali. To be honest, kayaknya aku udah hafal sama skenario dan lines dari masing-masing karakternya.

Film ini keluar tahun 2004, udah cukup lama sih emang. Ceritanya ada seorang anak perempuan namanya Jenna Rink (Jennifer Gardner) yang lagi berulangtahun yang ke-13. Kayak anak-anak remaja lainnya, Jenna pingin cepet jadi wanita dewasa. Pingin bisa pakai make-up, jadi cantik, punya boobs, punya pacar ganteng, dan sebagainya. Dia bertemen baik sama cowok gendut bernama Matty Flamhaff (Mark Ruffalo). Karena dia pingin banget jadi populer, dia terpaksa harus hang out sama cewek-cewek populer typical American movie (serba-pink, bitchy, blonde). Salah satunya yaitu Lucy Wyman (Judy Greer). Tapi mereka ga pernah bisa menerima Jenna dan malah nyuruh Jenna untuk ngerjain PR mereka. Lucy dkk. bahkan ngegodain Jenna sama Matt. Singkatnya karena Jenna desperate, dia akhirnya frustasi dan ngamuk-ngamuk di balik lemari. Waktu itulah ada wishing dust yang bisa mengabulkan permintaan, yang akhirnya bener-bener ngebawa Jenna ke masa depan, waktu dia umur 30 tahun.

Si Jenna seneng setengah mati karena turns out semua yang diinginin ketika dia masih muda tercapai. But it comes at a cost. Thirty-year old Jenna doesn’t speak to her parents anymore, doesn’t hang out with Matt anymore. She turns into someone with bad attitude. Tapi Jenna pingin berubah, dan pingin berteman lagi sama Matt, mungkin malah lebih dari teman. Sampai dia akhirnya sadar kalau waktu ga bisa seenaknya diputerbalik.

What I love about this movie: it’s honest, and fun, and we all can relate to this story. Sebagai cerita drama komedi, banyak adegan yang bikin kita ketawa liat tingkah Jenna. Dia tiba-tiba dansa ala Michael Jackson, atau makan permen di sela-sela rapat. Akting Jennifer Gardner keliatan alami, gak terkesan dibuat-buat. Mark Ruffalo juga sama, aktingnya natural, cool, dan ga terlalu ekspresif.

Dansa Thriller ala Michael Jackson
Character-wise, orang-orang yang ada di film ini bisa kita jumpai di kehidupan sehar-hari. Anak kecil yang ga sabar jadi dewasa, kelompok populer dan kelompok nerd, rekan kerja yang bitchy, bos yang gay, dll. Gak ada perbedaan kutub protagonis dan antagonis yang terlalu lebar. Kalau biasanya di film kita bisa benci banget sama karakter antagonis, disini enggak. Karena semuanya logis, gak ada karakter yang tanpa motivasi apapun terus tiba-tiba jadi super menyebalkan.

Plot-wise, I’m gonna give 7.5 out of ten. Ketika liat film ini, kita kira-kira udah dapet gambaran ceritanya akan berjalan kayak gimana. Tapi ada twist menarik di bagian ending yang bikin jadi less predictable. Ada adegan-adegan yang bisa dipotong, kayak misalnya ketika Jenna nyanyi-nyanyi sama anak kecil. Naik-turunnya terjaga, walaupun ga bisa dibilang ada faktor “Wow”nya. Tapi ceritanya sangat nostalgic dan bisa bikin kita senyum-senyum sendiri inget waktu jaman jatuh cinta SMA.

Message-wise, well aku percaya kita bisa selalu belajar dari sebuah film. Semua cerita ada pesan moralnya kan? Dan kalau ga ada, then it’s a pure useless entertainment. Ada beberapa hidden message yang bisa didapet setelah nonton film ini sih. Pertama, it is never too late to become a better person. Jenna membuktikan dia bisa berubah dari karakter dia yang dulu. Dua, sometimes what we dream of is not really what we need. Cowok terganteng di angkatan Jenna aja akhirnya jadi supir taksi di New York. Jenna udah dapetin semua yang dia mau sejak kecil, tapi ternyata itu ga sepadan kalau dia harus kehilangan orangtua atau sahabat baik dia. Tiga, be careful what you wish for!

So overall, it was a fun and romantic movies! An easy watch. Kalau belum pernah nonton, go ahead rent the DVD, I bet you’ll like it!

Director: Gary Winick
Writers: Josh Goldsmith, Cathy Yuspa
Stars: Jennifer Garner, Mark Ruffalo, Judy Greer

PS: Hey, if you want to read my review about certain movies, please put it in the comment box and I’ll review it ;)

[F]

Thursday, July 23, 2015

The Future of Society


Suatu saat kita tak akan lagi merasakan ngantri berjam-jam untuk mencoba martabak nutella. Karena kini ada bapak-bapak Gojek dan Yesbos yang siap membungkus pesanan kita dan mengantarnya langsung ke depan rumah.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya belajar menyetir mobil. Karena Google sudah menemukan cara untuk membuat mobil yang tak perlu pengemudi, auto-driver. Kita hanya perlu duduk diam menunggu sampai tujuan.

Suatu saat kita tak akan lagi melihat konser sambil berteriak-teriak kegirangan melihat penampilan idola. Karena kini semua orang menggunakan tongkat narsis, tablet perekam, dan drones kamera yang melayang kemana-mana.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gugupnya membuka pembicaraan dengan orang yang disukai. Atau menunggu-nunggu untuk bertemu setelah sekian lama. Karena kini semua media sosial memperbolehkan semua itu terjadi, setiap hari, gratis.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan rumitnya menghapal jalan dan peta. Suatu saat kita tak akan lagi tersesat di tempat yang tak pernah kita kunjungi. Karena kini ada google maps dan waze, yang lebih hafal jalan dibandingkan peta kusut yang mulai robek di bagian pinggir karena tak terpakai.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan pentingnya mengingat sesuatu. Mengingat tahun berapa Perang Dunia berakhir dan siapa nama istri Jokowi. Karena kini ada Google yang hanya sejarak sentuhan jari, yang tanpa basa-basi menjawab hal-hal kecil yang tak pernah kita ingat.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan asyiknya melihat album foto bersama-sama. Karena kini ada Instagram, periskop, dan vsco, semua diumbar, semua adalah milik umum. Foto berbikini, foto dengan pacar, foto dengan pak presiden, semua orang bisa melihatnya.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan bagaimana dengan sungkan minta difotokan oleh orang tak dikenal. Karena kini ada Gopro, yang langsung terhubung dengan telepon pintar. Kita tak butuh bantuan orang lain, bukan?

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gilanya menceburkan teman ke kolam renang. Karena kini di kantongnya ada kamera poket, ponsel keluaran terbaru, tablet berukuran seperti tivi, jam tangan digital yang tersambung ke ponsel, dan kabel pengecas yang dibawa kemana-mana. Karena semuanya lebih penting dari kenangan yang kita ingat hari itu, jika kita menceburkan dia ke kolam.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan capainya menulis dengan tangan. Karena kini ada voice command, ada evernote, dan ada laptop. Semuanya tak butuh cekeran ayam dengan pulpen yang sering luntur. Karena kini semuanya serba tertulis dengan huruf cetak macam arial dan times new roman. Dan tak ada ruang untuk tulisan tegak bersambung yang diajarkan sedari TK.

Suatu saat kita tak akan lagi mendengar alunan asli instrumen piano, gitar, kecapi, gendang, hingga violin. Karena kini ada musik elektronik yang bisa menggabungkan semuanya, yang tinggal tekan dan pencet, tak perlu kursus berlama-lama dan tak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya.

Suatu saat kita tak akan lagi bertemu dengan ibu-ibu penjual rokok di tepi jalan, atau bapak-bapak penjual cendol di depan pasar. Karena kini semuanya tergantikan dengan vending machine.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan hangatnya dijamah oleh resepsionis atau pramugari cantik nan santun. Karena kini hotel-hotel menggunakan layar canggih dan robot ramah yang tak perlu dibayar tinggi. Karena kini manusia tak begitu berharga lagi.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya mengulek sambel hingga menangis, atau berjam-jam membuat kuah kari. Karena kini ada bumbu instan yang hanya perlu dituang, ada bumbu bubuk yang membuat semua makanan terasa enak, hemat berjam-jam.

Suatu saat mungkin.....
Manusia sadar bahwa waktu tak bisa diulang kembali.

Suatu saat mungkin..
Manusia bertanya-tanya,
“Lalu aku kerja apa?”

[F]

Friday, July 17, 2015

Waktu


Waktu tak membohongi
Satu insan pun yang berusaha mengingkari
Dengan kamu disana dan aku disini
Jauh memang, tapi tak pernah sejauh ini

Pada jam dua pagi, angin malam menyapa
Membuat aku menggigil
Tapi menggigil bahagia
Kamu tahu betapa cintanya aku pada kedinginan
Jauh lebih cinta pada bulan
Dibanding matahari

Tawa membuat semuanya hangat
Menghembuskan tambahan oksigen
Menghela napas panjang
Ah, bahagia begitu sederhana
Sesederhana lengkung bernama senyum
Bersama orang-orang tersayang
Sesederhana cekikik nyaring
Pada lelucon garing
Tradisi yang sungguh familiar
Dan di saat yang sama, membuat rindu berulang-ulang

Rasanya lengkap
Tapi kamu membuatnya kurang
Kamu pernah ada, kamu pernah menyempurnakan

[f]


Takut Kalah


Baru-baru ini aku mendaftarkan diri untuk mengikuti program summer university di India selama sebulan. Aku mengerahkan segala kemampuan dan ketika sudah mengumpulkan aplikasi, aku menyadari seberapa inginnya aku mendapatkan kesempatan ini. Bukan hanya sekedar iseng-seng berhadiah. Aku berdoa, dan selalu berharap semoga aplikasiku lolos. Dan setelah penantian selama 2 minggu, barusan aku mendapatkan email bahwa aku tidak lolos. *put a teary eyes emoticon here* Bersamaan dengan itu juga aku gagal mengikuti conference di South Korea. Dua penolakan di bulan yang sama. Aku kecewa. Tentu saja, siapa sih yang tidak mau dibayari full di negeri asyik macam India dan Korea?

Lalu kemudian aku mendengar diriku sendiri berkata, “Ah, kamu cupu Len. Baru ditolak beberapa kali aja udah minder. Udah merasa self-conscious dan ga pede. Berarti kamu belum siap kalah.”
Siap kalah. Kadang kita menganggap remeh kualitas itu. Aku pernah baca buku yang kira-kira berjudul, kenapa mahasiswa yang mendapat nilai A bekerja untuk mahasiswa yang mendapat nilai C. Kira-kira penjelasannya begini: mahasiswa yang mendapat nilai A biasanya tidak bekerja keras untuk mendapatkan nilai itu. Mereka bisa menaklukkan pelajaran dengan mudah, belajar sehari sebelumnya pun bisa mendapat A. Tapi mahasiswa yang biasanya mendapat nilai C selalu mengeluarkan kekuatan lebih untuk belajar. Mereka menyicil dari jauh-jauh hari, belajar bersama, mencatat, dsb. Ketika keduanya lulus di dunia kerja, itu jugalah yang terjadi. Mahasiswa yang terbiasa mendapat kekecewaan dengan nilai C akan terus menerus memperbaiki performa dan kualitas kerjanya. Itu yang menjelaskan mengapa kita semua harus siap kalah dalam segala hal yang kita kerjakan.

Sebagai orang yang berkecukupan, aku jarang merasakan kekalahan. Jujur, itu sesuatu yang aku syukuri. Aku tidak pernah di-bully, punya teman-teman yang care denganku, punya keluarga yang harmonis, dan beberapa kali hidup membukakan pintu-pintu yang tepat untuk memberikan aku pengalaman yang luar biasa langka. Jadi – mungkin – aku tidak biasa merasakan yang namanya kalah. Itulah mengapa ketika aplikasiku ditolak oleh 2 institusi yang berbeda, aku langsung ciut. Langsung minder dan langsung berpikir-pikir ulang untuk mendaftar acara serupa.

Bodoh memang. We cannot win all the time, right? Ketika kita mendaftar di lomba catur, tentu kita tahu bahwa kesempatan untuk kalah sama besarnya dengan kesempatan untuk menang. Kita tahu bahwa kita mendaftarkan diri untuk kalah. Bahwa jika dihitung secara matematis, maka probabilitas untuk kalah tentu lebih besar dibandingkan menang. Lihat saja, dari 1000 atlet olimpiade, hanya 50 yang berhak menjadi juara. Tapi kadang kita lupa bahwa semua hal ada sisi kalahnya, bahkan ketika kita mencintai seseorang. Membuat kue itu bisa gagal. Mendaftar ke lomba itu bisa gugur. Menjalin pernikahan itu bisa cerai. Menyayangi seseorang juga bisa ditolak. Untuk setiap keputusan, kita tahu bahwa peluang untuk kalah lebih besar dari peluang untuk menang.

Tapi, apakah kita cukup berani untuk mencoba?

Remember this: sometimes you win, sometimes you learn. Jadi, setiap mau melakukan sesuatu, pikirkan dulu, udah siap belum kalau yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan? Jangan terburu-buru membayangkan, ah pasti menang hadiah uang, ah pasti berhasil, ah pasti lolos, ah pasti keren kalo jadi juara, dll. Dan kalau dipaksa harus kalah, mungkin itu tandanya kita harus belajar lebih banyak dan berusaha lebih keras. Never a mistake, always a lesson. Semangat ya, untuk kesempatan-kesempatan emas yang menunggu untuk dicoba!

[f]