Showing posts with label happiness. Show all posts
Showing posts with label happiness. Show all posts

Wednesday, September 9, 2015

Karena Kamu



Karena kamu, aku lupa betapa sayangnya aku pada buku
Pada judul dan rangkaian kata yang siap mengungkap hidup yang lain
Pada tumpukan kisah sejarah Eropa sampai romantika Asia Tenggara
Pada kenikmatan menyusuri perpustakaan, lembar, dan tanda baca

Karena kamu, aku lupa betapa senangnya aku menulis
Karena ketika kamu ada aku meluangkan seluruh waktu
Denganmu, untukmu.
Dan tak ada waktu tersisa untuk sekadar menulis jemu

Karena kamu, aku lupa betapa cintanya aku berjalan-jalan sendiri
Pada trotoar pejalan kaki, pada suara yang kudengar dari dalam diri
Pada perenungan tak terbatas yang sering kutemui
Ketika kaki menapak tanpa arah, tanpa teman, tanpa tujuan

Karena kamu, aku lupa sebagian kecintaan diriku yang terdahulu
Dengan kamu aku hanya punya satu obat eliksir.
Dengan kamu aku percaya aku hanya punya satu adiksi.
Satu candu. Satu hobi. Hal yang paling menarik.

Iya, kamu.

[F]

Friday, August 7, 2015

To Be Alive


Di beberapa momen yang indah, aku selalu berkata di dalam hati, “What a great time to be alive.”

Semuanya mudah. Berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang yang berada di belahan dunia lain kini semudah menekan layar sentuh di ponsel pintar. Menyebarkan berita atau pengumuman pernikahan kini semudah memasang foto terbaru di instagram dan jaringan sosial lainnya yang menjamur. Bingung mencari tahu cara membersihkan virus dari laptop? Tinggal meminta google mencari jawabannya untuk kita. Apapun yang ingin kita tanyakan, google bisa menjawabnya. Membeli baju dan melihat-lihat isi buku kini dapat dilakukan dari perangkat elektronik yang sama, yang mengijinkan kita untuk tak perlu mandi dan mengangkat kaki dari rumah.

Tapi di sisi yang lain, aku merasa khawatir. I am worried.

Kini bercakap-cakap dengan orang tak bisa semudah dulu. Kini semua orang – di stasiun, di halte, di toko, di jalan raya – semua sibuk dengan ponselnya masing-masing. Tak ada yang menengadahkan kepala untuk melihat dunia nyata. Semua menunggu dengan bosan, berharap tak ada yang mengajak berbicara, semua menggerakkan jarinya dan menggulir konten media sosial. Tak ada yang peduli. Tak ada yang ingin membuka pembicaraan.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Lima menit pertama ia menatap kita namun lima menit kemudian ia hilang memberikan Likes di foto-foto orang lain. Manusia di masa kini seperti dilatih untuk memiliki konsentrasi jangka pendek. Teori yang mengatakan bahwa manusia hanya bisa berkonsentrasi di 30 menit pertama mungkin haris direevaluasi kembali. Dengan banyaknya tombol dan notifikasi berhamburan, mereka tak tahan harus bercakap-cakap selama satu jam. Mereka tak tahan untuk mengabaikan segala macam bunyi dan pendar dari layar ponsel dan iPad mereka.

Kini bercakap-cakap tak semudah dulu. Kini orang-orang tak saling bertemu lagi. Bersalaman dan berpelukan tak lagi semengasyikkan snapchat dan ask.fm. Orang tak lagi saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Pasangan tak lagi menyempatkan diri untuk duduk bersama dan bercakap-cakap. Mereka didominasi oleh Line, BBM, dan Whatsapp. Emotikon dan huruf, tapi, tak akan pernah menggantikan ekspresi wajah dan sentuhan tangan yang biasa dipertukarkan.

Aku khawatir melihat manusia tak lagi membaca buku cetak. Dan ayah-ibu tak lagi bermain sepeda dengan anaknya, atau membawa mereka bermain di taman hiburan. Aku khawatir tablet telah menggantikan peran orangtua, in so many ways. Aku khawatir nantinya manusia tidak akan berkomunikasi satu sama lain, karena semua kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh satu perangkat canggih bernama teknologi. Kelas berisi 50 orang tak pernah sesepi ini, semuanya sedang sibuk dengan ponsel masing-masing sementara sang dosen sedang menerangkan panjang lebar. Tak ada yang mau menolong korban kecelakaan karena mereka berpikir itu adalah modus kejahatan terbaru, dan jika mereka menolong maka mereka akan ditodong. Dunia ini, berubah menjadi lebih baik dan lebih buruk di saat yang sama.

Dan kadang-kadang aku berkata dalam hati, “What a bad time to be alive.”

[F]

Thursday, July 23, 2015

The Future of Society


Suatu saat kita tak akan lagi merasakan ngantri berjam-jam untuk mencoba martabak nutella. Karena kini ada bapak-bapak Gojek dan Yesbos yang siap membungkus pesanan kita dan mengantarnya langsung ke depan rumah.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya belajar menyetir mobil. Karena Google sudah menemukan cara untuk membuat mobil yang tak perlu pengemudi, auto-driver. Kita hanya perlu duduk diam menunggu sampai tujuan.

Suatu saat kita tak akan lagi melihat konser sambil berteriak-teriak kegirangan melihat penampilan idola. Karena kini semua orang menggunakan tongkat narsis, tablet perekam, dan drones kamera yang melayang kemana-mana.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gugupnya membuka pembicaraan dengan orang yang disukai. Atau menunggu-nunggu untuk bertemu setelah sekian lama. Karena kini semua media sosial memperbolehkan semua itu terjadi, setiap hari, gratis.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan rumitnya menghapal jalan dan peta. Suatu saat kita tak akan lagi tersesat di tempat yang tak pernah kita kunjungi. Karena kini ada google maps dan waze, yang lebih hafal jalan dibandingkan peta kusut yang mulai robek di bagian pinggir karena tak terpakai.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan pentingnya mengingat sesuatu. Mengingat tahun berapa Perang Dunia berakhir dan siapa nama istri Jokowi. Karena kini ada Google yang hanya sejarak sentuhan jari, yang tanpa basa-basi menjawab hal-hal kecil yang tak pernah kita ingat.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan asyiknya melihat album foto bersama-sama. Karena kini ada Instagram, periskop, dan vsco, semua diumbar, semua adalah milik umum. Foto berbikini, foto dengan pacar, foto dengan pak presiden, semua orang bisa melihatnya.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan bagaimana dengan sungkan minta difotokan oleh orang tak dikenal. Karena kini ada Gopro, yang langsung terhubung dengan telepon pintar. Kita tak butuh bantuan orang lain, bukan?

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan gilanya menceburkan teman ke kolam renang. Karena kini di kantongnya ada kamera poket, ponsel keluaran terbaru, tablet berukuran seperti tivi, jam tangan digital yang tersambung ke ponsel, dan kabel pengecas yang dibawa kemana-mana. Karena semuanya lebih penting dari kenangan yang kita ingat hari itu, jika kita menceburkan dia ke kolam.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan capainya menulis dengan tangan. Karena kini ada voice command, ada evernote, dan ada laptop. Semuanya tak butuh cekeran ayam dengan pulpen yang sering luntur. Karena kini semuanya serba tertulis dengan huruf cetak macam arial dan times new roman. Dan tak ada ruang untuk tulisan tegak bersambung yang diajarkan sedari TK.

Suatu saat kita tak akan lagi mendengar alunan asli instrumen piano, gitar, kecapi, gendang, hingga violin. Karena kini ada musik elektronik yang bisa menggabungkan semuanya, yang tinggal tekan dan pencet, tak perlu kursus berlama-lama dan tak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya.

Suatu saat kita tak akan lagi bertemu dengan ibu-ibu penjual rokok di tepi jalan, atau bapak-bapak penjual cendol di depan pasar. Karena kini semuanya tergantikan dengan vending machine.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan hangatnya dijamah oleh resepsionis atau pramugari cantik nan santun. Karena kini hotel-hotel menggunakan layar canggih dan robot ramah yang tak perlu dibayar tinggi. Karena kini manusia tak begitu berharga lagi.

Suatu saat kita tak akan lagi merasakan susahnya mengulek sambel hingga menangis, atau berjam-jam membuat kuah kari. Karena kini ada bumbu instan yang hanya perlu dituang, ada bumbu bubuk yang membuat semua makanan terasa enak, hemat berjam-jam.

Suatu saat mungkin.....
Manusia sadar bahwa waktu tak bisa diulang kembali.

Suatu saat mungkin..
Manusia bertanya-tanya,
“Lalu aku kerja apa?”

[F]

Monday, June 29, 2015

Goodbyes


What is it with goodbye that scares us the most? What is it with the words goodbye that crack us to tears and sadness? Why is it that we always believe that goodbye means we will break down and never be happy again?

Perpisahan itu selalu menyakitkan. Dan kalau ada orang yang bilang there is such thing as beautiful goodbye, I will punch him right in the face. Berpisah dengan orang itu berat. Bukan karena untuk sementara kita ga akan ketemu dengan dia. Bukan karena untuk sementara kita akan sendiri. Tapi karena kita ga tau berapa lama lagi sampai perjumpaan mendatang. Mungkin sehari, mungkin sebulan, mungkin setahun, atau mungkin dia ga akan ada lagi. Mungkin bagian dia di jalan cerita hidup kita sudah selesai. They have done their parts.

Here is the thing. We never know when the last good bye is. We could have said good bye to our ex-boyfriend but in all of a sudden we could run into him in the bookstore. Life has its own maze to avail us meet people from the past. Here is another thing, aku pernah lihat video yang mengajarkan bahwa manusia sekarang (homo sapiens) punya otak yang jauh lebih besar dari manusia jaman dahulu kala (homo javanicus). Salah satu bagian otak yang berkembang adalah otak bagian depan, yang memungkinkan kita untuk merasakan sesuatu yang belum atau akan kita rasakan. Kita punya bayangan akan masa depan, manusia kuno tidak pernah merasakan pengalaman itu.  

Misalnya gini, ketika kita bilang kita pingin ayam goreng, otak bagian depan kita memberikan kita bayangan dan gambar ayam goreng itu. Harum, crispy, warna keemasan, enak. Jadi tanpa ragu kita akan langsung gas motor dan pergi ke ayam KFC terdekat. This is the simple example. What it has to do with our feeling is, ketika kita mengucapkan perpisahan dengan orang lain, bukan momen perpisahan itu yang bikin kita nangis. Bukan karena kebersamaan selama beberapa hari/bulan/tahun yang harus berakhir. Yang bikin kita sedih adalah karena otak depan kita membayangkan the future without this person. Ketika nenek kita meninggal misalnya, yang membuat kita sedih adalah: “ga ada lagi nenek yang selalu masakin sup kesukaan”, “ga bisa lagi cerita-cerita dan jalan-jalan”, “Nenek ga bisa dateng ke wedding aku”. You see? Those kind of thoughts are the reflection of our future. We are sad because our brain is reflecting how our future will be without them.

So the thing about goodbye is pretty simple, actually. Right after watching that video, I began to realize what I’ve done wrong all this time. I keep picturing my life without them and I forget to be grateful WHILE THEY ARE HERE, in my life. I keep being sad knowing that we may separate and I forget to be in the moment. To enjoy the time we have. And when it is the time to say goodbye, you should remember that the pain is caused by the brain, which is trying to project something which has not happened yet. That’s how you’ll survive every goodbyes.
[F]

Thursday, June 18, 2015

Biggest Fear

Do you really want to know what my biggest fear is? Not that I will fail my marriage, or not being able to find someone worth-marrying-for, or having a decent life and not the super-rich one, none of them are my biggest fear.

My biggest fear would be: not being able to chase after my dreams. Whether or not I manage to get those dreams are completely different story. But I have this one life. This one chance. And I’m not about to blow it by living ordinarily. My biggest fear would be: Marrying someone and regretting that very decision. Marriage is not a must, that is often forgotten. Marriage is a choice and unless there’s super special person that can assure me that “together” is far better than “alone”, I will not take that choice.

My biggest fear would be: sitting in my office cube, doing the same thing everyday in my life, browsing the latest travel photos and wallpapers, convincing myself that I, too, can experience that one day. I want to see and explore the world. I want to expand my knowledge and my self. And that can’t be done by sitting in the office cube, doing reports, obeying the boss. If we do not have big enough dream, we’ll end up working so hard to fulfill someone else’s dream.

My biggest fear would be: not having time to do my favourite things, reading books, going on an adventure, escaping every now and then. Life shall be full of impromptu journeys and laughs, jawbreaking sceneries and events, thrilling sneak-out and road trips.

Oh, what whould it be if all our teenage dreams and ambitions are gone to waste? What if we live the life, the same ordinary way with 7 other billion people? What if at the end of our life, we look back and regret the chances we did not take?

That would be my biggest fear, of all.


[f]

Saturday, January 3, 2015

Untuk Bandung


Kerlap kerlip lampu selalu menjadikan jendela ini seperti berpayung senyum. Aku dengan penuh hela napas akan menggeser kabin kacanya, mentransfusi udara dingin yang sedang melayang-layang setelah rintik hujan berlalu. Satu hal yang pasti, dua daun jendela ini adalah cinta pertama yang aku rasa ketika aku memasuki kamar kosku pertama kali. Aku tahu, aku akan betah. Aku akan menghabiskan pagi, subuh, siang, senja, malam, dan fajar, berdekatan dengan dunia luar di balik kaca yang berembun. Kadang tersapu debu, kadang jernih, kadang dihinggapi serangga-serangga bersayap, yang mengepak sayap hingga ke lantai dua, kadang pula dikotori oleh kotoran burung dan entah binatang apa.

Hari ini, 450 hari kira-kira. Bandung masih tetap sama, dari tengokku kala pertama. Aku tetap berkutat dengan laptop biru yang menyimpan sebagian jiwaku di dunia maya. Dan udara yang dingin membuatku bersin, walau kucoba tangkal dengan seoles minyak beraroma kayu putih. Segelas susu dan sereal telah kunikmati, hangatnya bukan hanya ke perut, melainkan pula ke hati. Aku menikmati saat-saat yang selalu ada, tapi jarang aku syukuri. Ketika untuk sejenak tugas-tugas bisa menunggu, orang-orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, ketika hari libur menyapaku hangat, memberikan secercah keceriaan dan napas baru. Sungguh, kadang kebahagiaan tidak perlu dicari setengah mati. Kebahagiaan itu timbul, bukan dicari.

Bandung, kamu telah menjadi perantauan yang tak pernah aku sesali. Terima kasih untuk malam ini, 450 malam yang telah berlalu, dan… ratusan hari yang akan datang. Kecup. Dan doa.

[f]

Monday, August 4, 2014

Survive



People get used to everything. People get used to beauty. People get used to their hot and cute girl/boyfriend. People get used to the beauty of some places. People get used to lie. People get used to their favorite food.
It’s true. People get used to everything. That’s one of the reason why human being exists up until today. Because we’re great adapters. We get used of everything.
And so, we get used to feeling too. When we’re losing our loved ones, either because they leave or they pass by, the first months will be the hardest period to cope. We’ll cry a lot, we’ll be in mourn, we’ll do everything we could to take them back in our life. But believe me, we’ll get used to that. We’ll get used to their absence, their old memory, our sickness of not being able to see them anymore. And our sadness slowly fades. There’s big hole in our heart, but we can survive. We feel something’s incomplete but we go on with our lives. We’ll get used to be left behind, to be brokenhearted, to be forgotten.
We’ll survive.
25.07.14
[F]

Friday, June 13, 2014

Ada Apa Dengan Hujan


Orang sering tanya kenapa aku suka hujan.
 Dan aku sering bilang karena ada cerita di baliknya.
 Karena aku suka caranya memerciki gersang.
 Aku suka cara anggun tiap butirnya menjamah bumi.
 Menyentuh tanah dan meniupkan aroma petrichor.

Tapi bukan itu saja.
 Aku suka melihat para pengendara motor yang menepi dan berteduh.
 Aku suka melihat orang memaki karena sepatunya menginjak genangan air.
 Aku suka melihat wajah muram anak kecil karena tidak bisa bermain di luar.
 Aku suka melihat orang berlarian menutupi kepala mereka dengan seadanya.
 Takut basah, takut sakit.
 Aku suka melihat mereka terbirit-birit melindungi tas dan buku mereka.
 Aku suka melihat mereka ngebut agar segera sampai segera di kehangatan rumah.
 Aku suka melihat mereka bersungut-sungut di bawah payung.
 Mengeluh karena kakinya kotor dan celananya terciprat air got.
 Aku suka melihat mereka terpeleset di licinnya aspal.

Aku suka.
 Melihat raut manusia ketika mereka sadar,
 bahwa mereka tidak bisa mengalahkan semesta.

13.06.14
 [F]


Wednesday, May 28, 2014

If I Should Have a Daughter


If I should have a daughter…“Instead of “Mom”, she’s gonna call me “Point B.”
Because that way, she knows that no matter what happens, at least she can always find her way to me. And I’m going to paint the solar system on the back of her hands so that she has to learn the entire universe before she can say “Oh, I know that like the back of my hand.”

She’s gonna learn that this life will hit you, hard, in the face, wait for you to get back up so it can kick you in the stomach.
But getting the wind knocked out of you is the only way to remind your lungs how much they like the taste of air. There is hurt, here, that cannot be fixed by band-aids or poetry, so the first time she realizes that Wonder-woman isn’t coming, I’ll make sure she knows she doesn’t have to wear the cape all by herself. Because no matter how wide you stretch your fingers, your hands will always be too small to catch all the pain you want to heal. Believe me, I’ve tried.

And Baby, I’ll tell her “Don’t keep your nose up in the air like that, I know that trick, you’re just smelling for smoke so you can follow the trail back to a burning house so you can find the boy who lost everything in the fire to see if you can save him.
Or else, find the boy who lit the fire in the first place to see if you can change him.”

But I know that she will anyway, so instead I’ll always keep an extra supply of chocolate and rain boats nearby, because there is no heartbreak that chocolate can’t fix. Okay, there’s a few heartbreaks chocolate can’t fix. But that’s what the rain boots are for, because rain will wash away everything if you let it.
I want her to see the world through the underside of a glass bottom boat, to look through a magnifying glass at the galaxies that exist on the pin point of a human mind. Because that’s how my mom taught me. That there’ll be days like this, “There’ll be days like this my momma said” when you open your hands to catch and wind up with only blisters and bruises.
When you step out of the phone booth and try to fly and the very people you wanna save are the ones standing on your cape. When your boots will fill with rain and you’ll be up to your knees in disappointment and those are the very days you have all the more reason to say “thank you,” ‘cause there is nothing more beautiful than the way the ocean refuses to stop kissing the shoreline no matter how many times it’s sent away.
You will put the “wind” in win some – lose some,
you will put the “star” in starting over and over,
and no matter how many land mines erupt in a minute be sure your mind lands on the beauty of this fury place called life.
And yes, on a scale from one to over-trusting I am pretty damn naive but I want her to know that this world is made out of sugar.
It can crumble so easily but don’t be afraid to stick your tongue out and taste it.

Baby, I’ll tell her “remember your mama is a worrier but your papa is a warrior and you are the girl with small hands and big eyes who never stops asking for more.”
Remember that good things come in threes and so do bad things and always apologize when you’ve done something wrong but don’t you ever apologize for the way your eyes refuse to stop shining.

Your voice is small but don’t ever stop singing and when they finally hand you heartbreak, slip hatred and war under your doorstep and hand you hand-outs on street corners of cynicism and defeat, you tell them,
 that they really ought to meet your mother.

-                   Sarah Kay “If I Should Have a Daughter” -

Sunday, April 27, 2014

What People Should Not Be Anti Of


Manusia boleh anti pada apa saja. Itu hak mereka. Suka tidak suka harus diterima. Dan kita tidak bisa memaksa apakah mereka harus begini begitu. Memang manusia sebaiknya tidak mencampuri urusan manusia lain. Panjang masalahnya. Dan tidak ada yang akan benar-benar kalah atau menang. Karena dari awal itu seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

Tapi menurutku, manusia tidak boleh anti terhadap 3 hal. Anti-perubahan. Anti-kritik. Anti-kritis.
Manusia tidak boleh anti pada perubahan. Perubahan bisa berarti banyak hal. Ideologi baru, kenalan baru, tempat baru, situasi baru, bahasa baru, dan segala yang membuat mereka mungkin terdesak dan ingin kembali ke zona yang nyaman. Bear in your mind, changes are inevitable. Tidak ada hal yang abadi di dunia ini kecuali ketidakpastian itu sendiri. Dan ketidakpastian berkarib dengan perubahan. Bahwa tidak ada satu hal pun yang benar-benar sama dari awal hingga akhir. Bahkan manusia. Dan karena itulah maka manusia harus bisa menerima perubahan. Kapanpun dan dimanapun. Manusia yang siap menerima perubahan - atau, yang siap membuat perubahan - adalah manusia-manusia yang akan maju puluhan langkah lebih jauh dari manusia yang memutuskan untuk menutup diri dan tinggal selamanya dalam kepompong besar yang nyaman namun mematikan.
Aku percaya bahwa setiap manusia punya kemampuan untuk berpikir kreatif dan inovatif. Bahwa pada dasarnya manusia itu diciptakan untuk selalu mencari dan membuat hal-hal yang baru. Tapi kemampuan ini butuh latihan. Dan begitulah, semakin sering ia membuka pikiran pada ide-ide dan hal-hal baru, akan semakin tajam kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Sebaliknya semakin koservatif dia pada pemikiran-pemikiran asing, maka seumur hidupnya tidak akan pernah ia menciptakan sesuatu yang fenomenal. Selamanya ia hanya gidup menjadi pengikut dan bertanya-tanya dalam hati mengapa dunia perlu berubah sedahsyat ini.

Manusia juga tidak boleh anti-kritik. Because the more we know about everything, the more we feel like we don’t know anything. Orang-orang hebat itu tidak pernah merasa bahwa diri mereka hebat. Mereka hanya sangat-sangat menghargai proses belajar, mereka sangat mengerti bahwa ada manusia-manusia yang lebih hebat di luar sana. Feedbacks are important to develop oneself. Karena orang-orang yang anti-kritik tidak akan maju terlalu banyak. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mengajarkan sesuatu pada orang yang merasa tahu segalanya? Bagaimana bisa mengucapkan sesuatu pada orang yang hanya peduli pada pendapatnya sendiri? Ada orang-orang yang anti dikoreksi, defensif, dan selalu membela diri sendiri. Orang-orang yang simply can’t say “I don’t know that.” Aku suka feedback. Any kind of it, even the most bitter one. It may not be uncomfortable to hear, but it is a relief to find out how people perceive us, or our works. Kacamata diri sendiri dengan kacamata orang lain bisa demikian berbeda. I’m not saying that we have to please everybody, but simply listening to them can gives us a whole new perspective. Maka manusia harus tahan kritik. Itu tanda bahwa ia mau berubah menjadi lebih baik.

Terakhir, anti-kritis. Susah sekali mengajak orang untuk berpikir kritis, untuk mempertanyakan segala sesuatu dan tidak menerima mentah-mentah apa yang ia baca, ia dengar, dan ia lihat. Justru kritis adalah hal yang sulit untuk ditumbuhkan, terlebih jika ia terbiasa didoktrin dengan ajaran-ajaran feodal nan dogmatis. Kritis berarti berani mempertanyakan segalanya, tidak asal angguk-angguk kepala dan menurut. Kritis berarti berani speak-up, mengutarakan pendapat diri sendiri. Kritis berarti menerima bahwa tidak ada satu hal pun yang luput dari cacat dan kekurangan. Kritis berarti berani mencari tahu dengan cara apa pun, mengeluarkan usaha ekstra untuk mendapatkan jawaban dari hal-hal yang jarang orang perdebatkan. Kritis berarti lepas dari segala bentuk perbudakan pikir dan ajaran-ajaran yang tak masuk akal. Manusia yang anti-kritis adalah target yang paling mudah untuk dipengaruhi. Yang mudah terombang-ambing karena tidak berani menantang otaknya untuk bertanya. Dan jumlah manusia seperti itu, banyak sekali.

Manusia boleh anti pada apa saja. Pada agama, makanan, ajaran, orang, suku, negara, dan sebagainya. Boleh, itu haknya. Who are we to judge? Tapi buatku, manusia tidak boleh anti-perubahan, anti-kritik, dan anti-kritis. Itu saja.

26.04.14
 [F]

Thursday, April 24, 2014

Less is More


Kebahagiaan itu bisa sesederhana itu, ternyata. Hidup mungkin telah merubahku di beberapa bagian. Tapi ia pun selalu mengingatkan aku akan hal-hal terbaik. Seringkali aku tersesat dalam rutinitas dan dunia yang sama sekali asing. Dunia yang palsu. Dunia yang menipu. Dunia yang tidak ingin aku tinggali.
 Tapi hidup selalu memberikan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan.
 Yang menyadarkan aku bahwa, bahagia itu sangat sederhana.

Bahagia itu bertemu dengan seorang ibu yang menasihati aku untuk rajin berdoa. Untuk bisa makan bersamanya dan berbagi cerita tentang masa depan.
 Bahagia itu bertemu dengan tukang soto yang bisa bicara bola dua jam penuh. Yang hafal pada statistik tim di liga manapun, dan yang menanti-nantikan jualannya habis, hanya untuk bisa nobar dengan teman-temannya.
 Bahagia itu melihat anak-anak SD yang berangkulan kemudian berjalan seperti robot. Berpura-pura bahwa dunia ini tidak eksis dan hanya imajinasi mereka yang liar yang nyata. Bahagia itu melihat anak-anak menggoda tukang cat di sekolah mereka. Sekadar menjulurkan lidah, berlarian, dan menyembunyikan topi si tukang berkaus merah.
 Bahagia itu menghabiskan waktu untuk pergi ke tempat yang baru. Tanpa tanda dan tanpa aling-aling. Ketika waktunya tiba, kita hanya membiarkan diri kita dibawa.
 Bahagia itu menghapus air mata yang jatuh karena mengingat hal-hal yang telah lewat.
 Bahagia itu ketika bisa ngobrol dengan mama dan papa yang jauh di ujung pulau. Sekadar bertanya kabar dan bicara tentang apa saja. Tahu, bahwa dalam dunia yang kejam, ada orang-orang yang mencintai dan peduli pada kita tanpa batas.
 Bahagia itu ketika bisa membaca dengan nyaman di kasur. Tenggelam pada huruf-huruf dan cerita yang kita tanamkan pada pikiran.
 Bahagia itu melihat bahwa hal-hal kecil di dunia punya arti yang sedemikian besar.

Kita hanya sering lupa. Bahwa bahagia itu sesederhana itu… :”)

24.04.14
 [F]