Saturday, January 3, 2015

Untuk Bandung


Kerlap kerlip lampu selalu menjadikan jendela ini seperti berpayung senyum. Aku dengan penuh hela napas akan menggeser kabin kacanya, mentransfusi udara dingin yang sedang melayang-layang setelah rintik hujan berlalu. Satu hal yang pasti, dua daun jendela ini adalah cinta pertama yang aku rasa ketika aku memasuki kamar kosku pertama kali. Aku tahu, aku akan betah. Aku akan menghabiskan pagi, subuh, siang, senja, malam, dan fajar, berdekatan dengan dunia luar di balik kaca yang berembun. Kadang tersapu debu, kadang jernih, kadang dihinggapi serangga-serangga bersayap, yang mengepak sayap hingga ke lantai dua, kadang pula dikotori oleh kotoran burung dan entah binatang apa.

Hari ini, 450 hari kira-kira. Bandung masih tetap sama, dari tengokku kala pertama. Aku tetap berkutat dengan laptop biru yang menyimpan sebagian jiwaku di dunia maya. Dan udara yang dingin membuatku bersin, walau kucoba tangkal dengan seoles minyak beraroma kayu putih. Segelas susu dan sereal telah kunikmati, hangatnya bukan hanya ke perut, melainkan pula ke hati. Aku menikmati saat-saat yang selalu ada, tapi jarang aku syukuri. Ketika untuk sejenak tugas-tugas bisa menunggu, orang-orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, ketika hari libur menyapaku hangat, memberikan secercah keceriaan dan napas baru. Sungguh, kadang kebahagiaan tidak perlu dicari setengah mati. Kebahagiaan itu timbul, bukan dicari.

Bandung, kamu telah menjadi perantauan yang tak pernah aku sesali. Terima kasih untuk malam ini, 450 malam yang telah berlalu, dan… ratusan hari yang akan datang. Kecup. Dan doa.

[f]