Kerlap kerlip lampu selalu menjadikan jendela ini seperti
berpayung senyum. Aku dengan penuh hela napas akan menggeser kabin kacanya,
mentransfusi udara dingin yang sedang melayang-layang setelah rintik hujan
berlalu. Satu hal yang pasti, dua daun jendela ini adalah cinta pertama yang
aku rasa ketika aku memasuki kamar kosku pertama kali. Aku tahu, aku akan
betah. Aku akan menghabiskan pagi, subuh, siang, senja, malam, dan fajar,
berdekatan dengan dunia luar di balik kaca yang berembun. Kadang tersapu debu,
kadang jernih, kadang dihinggapi serangga-serangga bersayap, yang mengepak
sayap hingga ke lantai dua, kadang pula dikotori oleh kotoran burung dan entah
binatang apa.
Hari ini, 450 hari kira-kira. Bandung masih tetap sama, dari
tengokku kala pertama. Aku tetap berkutat dengan laptop biru yang menyimpan
sebagian jiwaku di dunia maya. Dan udara yang dingin membuatku bersin, walau
kucoba tangkal dengan seoles minyak beraroma kayu putih. Segelas susu dan
sereal telah kunikmati, hangatnya bukan hanya ke perut, melainkan pula ke hati.
Aku menikmati saat-saat yang selalu ada, tapi jarang aku syukuri. Ketika untuk
sejenak tugas-tugas bisa menunggu, orang-orang sedang sibuk dengan dunianya
sendiri, ketika hari libur menyapaku hangat, memberikan secercah keceriaan dan
napas baru. Sungguh, kadang kebahagiaan tidak perlu dicari setengah mati.
Kebahagiaan itu timbul, bukan dicari.
Bandung, kamu telah menjadi perantauan yang tak pernah aku
sesali. Terima kasih untuk malam ini, 450 malam yang telah berlalu, dan…
ratusan hari yang akan datang. Kecup. Dan doa.
[f]