Baru-baru
ini aku mendaftarkan diri untuk mengikuti program summer university di India
selama sebulan. Aku mengerahkan segala kemampuan dan ketika sudah mengumpulkan
aplikasi, aku menyadari seberapa inginnya aku mendapatkan kesempatan ini. Bukan
hanya sekedar iseng-seng berhadiah. Aku berdoa, dan selalu berharap semoga
aplikasiku lolos. Dan setelah penantian selama 2 minggu, barusan aku
mendapatkan email bahwa aku tidak lolos. *put a teary eyes emoticon here*
Bersamaan dengan itu juga aku gagal mengikuti conference di South Korea. Dua
penolakan di bulan yang sama. Aku kecewa. Tentu saja, siapa sih yang tidak mau
dibayari full di negeri asyik macam India dan Korea?
Lalu
kemudian aku mendengar diriku sendiri berkata, “Ah, kamu cupu Len. Baru ditolak
beberapa kali aja udah minder. Udah merasa self-conscious dan ga pede. Berarti
kamu belum siap kalah.”
Siap
kalah. Kadang kita menganggap remeh kualitas itu. Aku
pernah baca buku yang kira-kira berjudul, kenapa mahasiswa yang mendapat nilai
A bekerja untuk mahasiswa yang mendapat nilai C. Kira-kira penjelasannya
begini: mahasiswa yang mendapat nilai A biasanya tidak bekerja keras untuk
mendapatkan nilai itu. Mereka bisa menaklukkan pelajaran dengan mudah, belajar
sehari sebelumnya pun bisa mendapat A. Tapi mahasiswa yang biasanya mendapat
nilai C selalu mengeluarkan kekuatan lebih untuk belajar. Mereka menyicil dari
jauh-jauh hari, belajar bersama, mencatat, dsb. Ketika keduanya lulus di dunia
kerja, itu jugalah yang terjadi. Mahasiswa yang terbiasa mendapat kekecewaan
dengan nilai C akan terus menerus memperbaiki performa dan kualitas kerjanya.
Itu yang menjelaskan mengapa kita semua harus siap kalah dalam segala
hal yang kita kerjakan.
Sebagai
orang yang berkecukupan, aku jarang merasakan kekalahan. Jujur, itu sesuatu
yang aku syukuri. Aku tidak pernah di-bully, punya teman-teman yang care
denganku, punya keluarga yang harmonis, dan beberapa kali hidup membukakan
pintu-pintu yang tepat untuk memberikan aku pengalaman yang luar biasa langka. Jadi
– mungkin – aku tidak biasa merasakan yang namanya kalah. Itulah mengapa ketika
aplikasiku ditolak oleh 2 institusi yang berbeda, aku langsung ciut. Langsung
minder dan langsung berpikir-pikir ulang untuk mendaftar acara serupa.
Bodoh
memang. We cannot win all the time, right? Ketika kita mendaftar di lomba
catur, tentu kita tahu bahwa kesempatan untuk kalah sama besarnya dengan
kesempatan untuk menang. Kita tahu bahwa kita mendaftarkan diri untuk kalah.
Bahwa jika dihitung secara matematis, maka probabilitas untuk kalah tentu
lebih besar dibandingkan menang. Lihat saja, dari 1000 atlet olimpiade, hanya
50 yang berhak menjadi juara. Tapi kadang kita lupa bahwa semua hal ada sisi kalahnya,
bahkan ketika kita mencintai seseorang. Membuat kue itu bisa gagal. Mendaftar
ke lomba itu bisa gugur. Menjalin pernikahan itu bisa cerai. Menyayangi
seseorang juga bisa ditolak. Untuk setiap keputusan, kita tahu bahwa peluang
untuk kalah lebih besar dari peluang untuk menang.
Tapi,
apakah kita cukup berani untuk mencoba?
Remember
this: sometimes you win, sometimes you learn. Jadi, setiap mau melakukan sesuatu, pikirkan dulu, udah siap belum kalau
yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan? Jangan terburu-buru membayangkan,
ah pasti menang hadiah uang, ah pasti berhasil, ah pasti lolos, ah pasti keren
kalo jadi juara, dll. Dan kalau dipaksa harus kalah, mungkin itu tandanya kita
harus belajar lebih banyak dan berusaha lebih keras. Never a mistake,
always a lesson. Semangat ya, untuk kesempatan-kesempatan emas yang
menunggu untuk dicoba!
[f]
No comments:
Post a Comment