Aku sedang duduk dan melamun ketika tiba-tiba tersentak..
Kopi yang masih panas aku letakkan di meja..
Bukankah ini cangkir kesayanganmu?
Yang selalu kau elus ketika menghirup aroma kopi..
Dua sendok gula, kopi hitam seperti biasa..
Cangkir putih dengan telinga lebar, kau hirup dengan sedap
cairan pekat itu..
Lalu kau menghela napas puas..
Seakan hidup berjalan sesuai yang kita inginkan..
Bukankah cangkir ini yang membuatmu terjaga?
Tak pernah ia tinggal di bak cucian lebih dari dua hari..
Setiap hari kau menggenggamnya, seolah cangkir itu bisa
pergi sewaktu-waktu..
Bukankah cangkir ini yang menemani sebilah gitar kayu?
Gitar kayu yang kaupetik dengan jari-jari yang kapalan..
Yang kau mainkan dengan nada-nada sendu di larut malam..
Gitar kayu yang dulu menjanjikan penghidupan..
Sering aku menatap nanar, ketika secangkir kopi dan gitar
kayu menjagamu semalaman..
Mendengarmu menggumamkan nada, mengarang kata-kata, membuat
pusi melagukan rima..
Tapi hidup tak selalu berpihak pada kita..
Gitar dan sebuah cangkir putih tak menjanjikan kehidupan
yang bahagia..
Dan kau selalu lari, merasa hidup, merasa nyaman,
Kau selalu terbirit-birit menggenggam mereka setiap malam..
Ingin lari dari tagihan-tagihan, rumah yang kumuh, dan
mimpimu yang sedang terkoyak perlahan..
Aku tak bisa apa-apa, aku hanya bisa mendengarkan lagu-lagu
yang keluar berirama..
Aku bahkan tak mengerti kunci dan petikan yang kau tulis
setiap hari..
Tapi mengapa pergi?
Mengapa tidak tinggal?
Apakah gitar kayumu tak lagi bisa memberi kenyamanan?
Apakah kopi hitam dan dua sendok gula tak bisa membuatmu
bertahan?
Mengapa lari?
Dan mengapa meninggalkan gitar kayumu disini?
Aku tak bisa memainkannya..
Aku tak ingin mendengar, bahkan tak ingin menatap..
Aku tak ingin mengingat..
Bayangan samar ketika pagi-pagi buta kau terjaga..
Pergi, pergi jauh sekali..
Dan di meja masih tergeletak..
Gitar kayu, cangkir, dan sepotong lagu yang belum usai. . .
No comments:
Post a Comment